Masalah pengupahan adalah masalah yang tidak pernah selesai
diperdebatkan oleh pihak manajemen, apapun bentuk organisasinya. Upah
seolah-olah kata-kata yang selalu membuat pihak manajemen perusahaan
berpikir ulang dari waktu ke waktu untuk menetapkan kebijakan tentang
upah. Upah juga yang selalu memicu konflik antara pihak manajemen
dengan karyawan seperti yang banyak terjadi akhir-akhir ini.
Hal yang juga tidak kalah pentingnya dari manajemen
pengupahan adalah perbedaan tingkat besar upah yang diterima. Banyak
terjadi kasus dimana seorang karyawan yang protes kepada pihak manajemen
akibat gajinya lebih kecil daripada pegawai baru, padahal pekerjaannya
sama. Diantaranya adalah seperti yang terjadi di salah satu perusahaan
di Jakarta pada Tahun 2003. Perusahaan tersebut menerapkan kebijakan
bagi pegawai baru, bahwa penentuan gaji pegawai baru didasarkan atas bargaining
(tawar menawar) pada saat masuk kerja. Pengalaman bekerja dan imbalan
yang diterima di tempat lain menjadi pertimbangan untuk penentuan gaji
pegawai baru tersebut. Tetapi fakta yang terjadi akibat kebijakan
baru itu adalah timbulnya keresahan pada pegawai lama yang merasa tidak
dihargai perusahaan karena gajinya lebih kecil daripada
pegawai baru, padahal pekerjaannya sama. Ada juga fakta di mana
bonus yang dibagikan kepada karyawan Menimbulkan protes karyawan.
Seharusnya jika perusahaan memberikan bonus kepada karyawan karena
perusahaan untung, maka karyawan bersyukur dan berterimakasih kepada
perusahaan. Tetapi yang terjadi disalah satu perusahaan di Jakarta
tahun 2003 adalah sebaliknya, karyawan protes terhadap kebijakan
pembagian bonus. Perusahaan menetapkan kebijakan bahwa sebesar 80% laba
perusahaan dikembalikan kepada karyawan. Jika laba operasional sebesar
1 milyar rupiah, dikembalikan 800 juta rupiah dalam bentuk Bonus.
Beberapa karyawan protes karena bonus yang diterimanya lebih kecil dari
yang diharapkannya. Sebagian lagi protes karena pada karyawan yang
pekerjaan dan tugasnya sama, bonus yang diberikan berbeda-beda.
Berdasarkan kondisi yang telah diuraikan, maka konsep
manajemen syariah dalam pengupahan karyawan perusahaan menjadi penting
untuk diteliti, bagaimana sebenarnya Syariat menggariskan aturan tentang
pengupahan tersebut.
2. Perumusan Masalah
Berkaitan dengan upah, adalah perlu dilihat pandangan kedua
belah pihak yang cenderung berseberangan, yaitu karyawan dan pihak
manajemen perusahaan. Seringkali pandangan yang berbeda menimbulkan
konflik yang jika tidak segera diselesaikan akan menyebabkan
kehancuran perusahaan. Konsep konvensional (Barat) telah menggariskan
beberapa kebijakan manajemen tentang gaji diantaranya defenisi upah,
teori upah serta perbedaan tingkat upah.
Bagaimana sebenarnya defenisi upah menurut Barat ?
Bagaimana pula Defenisi Upah menurut Islam? Pertanyaan-pertanyaan
tersebut menjadi penting diketahui untuk mendudukkan persoalan upah ini
pada tempatnya.
Berdasarkan uraian dan keadaan faktual perusahaan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
Apa pengertian upah menurut konsep Barat ?
Apa pengertian upah menurut konsep Islam ?
Apa persamaan dan perbedaan antara kedua konsep tersebut ?
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan konsep penggajian dan
pengupahan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah. Apabila
dirinci lebih lanjut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk :
Mengetahui pengertian upah menurut konsep Barat
Mengetahui pengertian upah menurut konsep Islam
Mengetahui persamaan dan perbedaan antara kedua konsep tersebut
Diharapkan dengan mengetahui konsep manajemen syariah
dalam pengupahan karyawan, maka bermanfaat untuk dijadikan acuan bagi
perusahaan atau badan-badan usaha lainnya.
4. Ruang Lingkup Penelitian
Lingkup penelitian ini dibatasi hanya pada pengupahan karyawan
perusahaan. Penelitian ini tidak membahas pengupahan di pegawai Negeri
(PNS) maupun di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
B. METODE PENELITIAN
1. Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini adalah 2 bulan terhitung bulan Januari-Februari 2004.
2. Sumber Data
Sumberdata yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
berupa tafsiran tentang ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasul
saw. Di samping itu, diperhatikan juga kaidah-kaidah hukum dan
pandangan-pandangan Fiqh.
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi dari berbagai
literatur. Artinya data-data yang diperlukan telah tersedia, dan bila
perlu dapat diambil dengan cara mencatat.
4. Metoda Analisis Data
Berkaitan dengan kajian syari’ah itu, ada 3 hal yang digunakan sebagai
pisau untuk menganalisis praktek manajemen modern , yaitu : Pertama, Aspek Normatif /ajaran dengan rujukan Al-Qur’an dan Hadits, Kedua, Kaidah-kaidah Hukum, dan Ketiga , Pandangan-pandangan Fiqh.
Dalam aspek Normatif, terdapat Norma dari tinjauan
hukum/ahkam baik hasil kajian dengan pendekatan harfiah (aliran
Zhahiri) pendekatan kontekstual antara satu dalil (nash) dengan
nash yang lain, dan kadang didukung dengan analitis filosofis (tujuan
dan hikmah Tasyri’)[1] seperti pendekatan Jumhur Ulama dan Normatif dari
tinjauan akhlaq (posisi/etis dan moral). Adapun Pisau Kajian Syari’ah
dapat dilihat pada Gambar 1. berikut ini
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pengertian Upah dalam Konsep Islam
Upah menurut pengertian Barat terkait dengan pemberian imbalan
kepada pekerja tidak tetap, atau tenaga buruh lepas, seperti upah buruh
lepas di perkebunan kelapa sawit, upah pekerja bangunan yang dibayar
mingguan atau bahkan harian. Sedangkan gaji menurut pengertian Barat
terkait dengan imbalan uang (finansial) yang diterima oleh karyawan atau
pekerja tetap dan dibayarkan sebulan sekali. Sehingga dalam
pengertian barat, Perbedaan gaji dan upah itu terletak pada Jenis
karyawannya (Tetap atau tidak tetap) dan sistem pembayarannya (bulanan
atau tidak). Meskipun titik berat antara upah dan gaji
terletak pada jenis karyawannya apakah tetap ataukah tidak.
“Upah atau Gaji biasa, pokok atau minimum dan setiap
emolumen tambahan yang dibayarkan langsung atau tidak langsung, apakah
dalam bentuk uang tunai atau barang, oleh pengusaha kepada pekerja dalam
kaitan dengan hubungan kerja” (Konvensi ILO nomor 100).2
Menurut Dewan Penelitian Perupahan Nasional : Upah
adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kepada penerima
kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan akan dilakukan,
berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi kemanusiaan
dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan
menurut suatu persetujuan, undang-undang dan peraturan dan dibayarkan
atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi dan penerima kerja.3
Dalam hal perbedaan pengertian upah dan gaji menurut
konsep Barat di atas, maka Islam menggariskan upah dan gaji lebih
komprehensif dari pada Barat.
Allah menegaskan tentang imbalan ini dalam Qur’an sbb :
“Dan katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan
dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan ghaib dan yang nyata,
lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan.” (At Taubah : 105).
Dalam menafsirkan At Taubah ayat 105 ini, Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah sbb :
“Bekerjalah Kamu, demi karena Allah semata dengan aneka amal yang saleh dan bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan melihat yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu”4
Tafsir dari melihat
dalam keterangan diatas adalah menilai dan memberi ganjaran terhadap
amal-amal itu. Sebutan lain daripada ganjaran adalah imbalan atau upah
atau compensation.
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami
berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik apa yang
telah mereka kerjakan.” (An Nahl : 97).
Dalam menafsirkan At Nahl ayat 97 ini, Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah sbb :
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, apapun jenis kelaminnya, baik laki-laki maupun perempuan, sedang dia adalah mukmin yakni amal yang dilakukannya lahir atas dorongan keimanan yang shahih, maka sesungguhnya pasti akan kami berikan kepadanya masing-masing kehidupan yang baik di dunia ini dan sesungguhnya akan kami berikan balasan kepada mereka semua di dunia dan di akherat dengan pahala yang lebih baik dan berlipat ganda dari apa yang telah mereka kerjakan“.5
Tafsir dari balasan
dalam keterangan d iatas adalah balasan di dunia dan di akherat. Ayat
ini menegaskan bahwa balasan atau imbalan bagi mereka yang beramal saleh
adalah imbalan dunia dan imbalan akherat. Amal Saleh sendiri oleh
Syeikh Muhammad Abduh didefenisikan sebagai segala perbuatan yang
berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok dan manusia secara
keseluruhan.6 Sementara menurut Syeikh Az-Zamakhsari, Amal Saleh adalah
segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, al-Qur’an dan atau
Sunnah Nabi Muhammad Saw.7 Menurut Defenisi Muhammad Abduh dan
Zamakhsari diatas, maka seorang yang bekerja pada suatu badan usaha
(perusahaan) dapat dikategorikan sebagai amal saleh, dengan syarat
perusahaannya tidak memproduksi/menjual atau mengusahakan barang-barang
yang haram. Dengan demikian, maka seorang karyawan yang bekerja dengan
benar, akan menerima dua imbalan, yaitu imbalan di dunia dan imbalan di
akherat.
“Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal
saleh tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
mengerjakan amalan(nya) dengan baik.” (Al Kahfi : 30).
Berdasarkan tiga ayat diatas, yaitu At-Taubah 105,
An-Nahl 97 dan Al-Kahfi 30, maka Imbalan dalam konsep
Islam menekankan pada dua aspek, yaitu dunia dan akherat. Tetapi hal
yang paling penting, adalah bahwa penekanan kepada akherat itu lebih
penting daripada penekanan terhadap dunia (dalam hal ini
materi) sebagaimana semangat dan jiwa Al-Qur’an surat Al-Qhashsash ayat
77.
Surat At Taubah 105 menjelaskan bahwa Allah
memerintahkan kita untuk bekerja, dan Allah pasti membalas semua apa
yang telah kita kerjakan. Yang paling unik dalam ayat ini adalah
penegasan Allah bahwa motivasi atau niat bekerja itu mestilah benar.
Sebab kalau motivasi bekerja tidak benar, Allah akan membalas dengan
cara memberi azab. Sebaliknya, kalau motivasi itu benar, maka Allah akan
membalas pekerjaan itu dengan balasan yang lebih baik dari apa yang
kita kerjakan (An-Nahl : 97).
Lebih jauh Surat An-Nahl : 97 menjelaskan bahwa tidak
ada perbedaan gender dalam menerima upah / balasan dari Allah. Ayat
ini menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi upah dalam Islam, jika
mereka mengerjakan pekerjaan yang sama. Hal yang menarik dari ayat ini,
adalah balasan Allah langsung di dunia (kehidupan yang baik/rezeki yang
halal) dan balasan di akherat (dalam bentuk pahala).
Sementara itu, Surat Al-Kahfi : 30 menegaskan bahwa
balasan terhadap pekerjaan yang telah dilakukan manusia, pasti Allah
balas dengan adil. Allah tidak akan berlaku zalim dengan cara
menyia-nyiakan amal hamba-Nya. Konsep keadilan dalam upah inilah yang
sangat mendominasi dalam setiap praktek yang pernah terjadi di negeri
Islam.
Lebih lanjut kalau kita lihat hadits Rasulullah saw
tentang upah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w
bersabda :
“ Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah
saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang
siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan
seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa
yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan
tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas
seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).8
Dari hadits ini dapat didefenisikan bahwa upah yang
sifatnya materi (upah di dunia) mestilah terkait dengan keterjaminan dan
ketercukupan pangan dan sandang. Perkataan : “harus diberinya makan
seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa
yang dipakainya (sendiri)” , bermakna bahwa upah yang diterima harus
menjamin makan dan pakaian karyawan yang menerima upah.
Dalam hadits yang lain, diriwayatkan dari Mustawrid bin Syadad Rasulullah s.a.w bersabda :
“Siap yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia mencarikan isteri (untuknya); seorang pembantu bila tidak
memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. Bila ia
tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal.
Abu Bakar mengatakan: Diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad Saw.
bersabda: “Siapa yang mengambil sikap selain itu, maka ia adalah seorang
yang keterlaluan atau pencuri.” (HR. Abu Daud).9
Hadits ini menegaskan bahwa kebutuhan papan (tempat
tinggal) merupakan kebutuhan azasi bagi para karyawan. Bahkan menjadi
tanggung jawab majikan juga untuk mencarikan jodoh bagi karyawannya yang
masih lajang (sendiri). Hal ini ditegaskan lagi oleh Doktor Abdul
Wahab Abdul Aziz As-Syaisyani dalam kitabnya Huququl Insan Wa
Hurriyyatul Asasiyah Fin Nidzomil Islami Wa Nudzumil Ma’siroti bahwa
mencarikan istri juga merupakan kewajiban majikan, karena istri adalah
kebutuhan pokok bagi para karyawan.10
Sehingga dari ayat-ayat Al-Qur’an di atas, dan dari hadits-hadits di atas, maka dapat didefenisikan bahwa : Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adil dan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik).
Dari uraian diatas, paling tidak terdapat 2 Perbedaan konsep Upah antara Barat dan Islam: pertama, Islam melihat Upah sangat besar kaitannya dengan konsep Moral, sementara Barat tidak. Kedua,
Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi (kebendaan atau keduniaan)
tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi akherat yang disebut
dengan Pahala, sementara Barat tidak. Adapun persamaan kedua konsep Upah
antara Barat dan Islam adalah; pertama, prinsip keadilan (justice), dan kedua, prinsip kelayakan (kecukupan).
Tabel 1. Konsep Upah antara Barat dan Islam
| No |
Aspek |
Barat |
Islam |
| 1 |
Keterkaitan yang erat antara UPAH dengan MORAL |
Tidak |
Ya |
| 2 |
Upah memiliki dua dimensi : Dunia dan akherat |
Tidak |
Ya |
| 3 |
Upah diberikan berdasarkan Prinsip Keadilan (justice) |
Ya |
Ya |
| 4 |
Upah diberikan berdasarkan prinsip Kelayakan |
Ya |
Ya |
ADIL
Organisasi yang menerapkan prinsip keadilan dalam pengupahan
mencerminkan organisasi yang dipimpin oleh orang-orang bertaqwa. Konsep
adil ini merupakan ciri-ciri organisasi yang bertaqwa. Al-Qur’an
menegaskan :
“Berbuat adillah, karena adil itu lebih dekat kepada Taqwa”. (QS. Al-Maidah : 8).
ADIL bermakna JELAS dan TRANSPARAN
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bemua’malah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis
itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang
yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki
dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi
itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka di panggil; dan janganlah
kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil
di sisi Allah dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mua’malahmu itu), kecuali jika mua’malah itu perdagangan tunai
yang kamu jalankan di antara kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan
saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan
bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 282)
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan
dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan
berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Maidah : 1).
Nabi bersabda :
“Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan”. (HR. Baihaqi).11
Dari dua ayat Al-Qur’an dan hadits riwayat Baihaqi di
atas, dapat diketahui bahwa prinsip utama keadilan terletak pada
Kejelasan aqad (transaksi) dan komitmen melakukannya. Aqad dalam
perburuhan adalah aqad yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha.
Artinya, sebelum pekerja dipekerjakan, harus jelas dahulu bagaimana upah
yang akan diterima oleh pekerja. Upah tersebut meliputi besarnya upah
dan tata cara pembayaran upah. Khusus untuk cara pembayaran upah,
Rasulullah bersabda :
“Dari Abdillah bin Umar, Rasulullah Saw. Bersabda: “Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya“. (HR. Ibnu Majah dan Imam Thabrani).12
Dalam menjelaskan hadits itu, Syeikh Yusuf Qardhawi
dalam kitabnya Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,
menjelaskan sebagai berikut :
Sesungguhnya seorang pekerja hanya berhak atas upahnya jika ia telah
menunaikan pekerjaannya dengan semestinya dan sesuai dengan kesepakatan,
karena umat Islam terikat dengan syarat-syarat antar mereka kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
Namun, jika ia membolos bekerja tanpa alasan yang benar atau sengaja
menunaikannya dengan tidak semestinya, maka sepatutnya hal itu
diperhitungkan atasnya (dipotong upahnya) karena setiap hak dibarengi
dengan kewajiban. Selama ia mendapatkan upah secara penuh, maka
kewajibannya juga harus dipenuhi. Sepatutnya hal ini dijelaskan secara
detail dalam “peraturan kerja” yang menjelaskan masing-masing hak dan
kewajiban kedua belah pihak.13
Dari penjelasan Syeikh Qardhawi diatas, dapat dilihat
bahwa upah atau gaji merupakan hak karyawan selama karyawan tersebut
bekerja dengan baik. Jika pekerja tersebut tidak benar dalam bekerja
(yang dicontohkan oleh Syeikh Qardhawi dengan bolos tanpa alasan yang
jelas), maka gajinya dapat dipotong atau disesuaikan. Hal ini
menjelaskan kepada kita bahwa selain hak karyawan memperoleh upah atas
apa yang diusahakannya, juga hak perusahaan untuk memperoleh hasil kerja
dari karyawan dengan baik. Bahkan Syeikh Qardhawi mengatakan bahwa
bekerja yang baik merupakan kewajiban karyawan atas hak upah yang
diperolehnya, demikian juga, memberi upah merupakan kewajiban perusahaan
atas hak hasil kerja karyawan yang diperolehnya. Dalam keadaan masa
kini, maka aturan-aturan bekerja yang baik itu, dituangkan dalam buku
Pedoman Kepegawaian yang ada di masing-masing perusahaan. Hadits lain
yang menjelaskan tentang pembayaran upah ini adalah :
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari
Nabi Muhammad Saw. bahwa beliau bersabda: “Allah telah berfirman: “Ada
tiga jenis manusia dimana Aku adalah musuh mereka nanti di hari kiamat.
Pertama, adalah orang yang membuat komitmen akan memberi atas nama-Ku
(bersumpah dengan nama-Ku), kemudian ia tidak memenuhinya. Kedua, orang
yang menjual seorang manusia bebas (bukan budak), lalu memakan uangnya.
Ketiga, adalah orang yang menyewa seorang upahan dan mempekerjakan
dengan penuh, tetapi tidak membayar upahnya” (HR. Bukhari).14
Hadits-hadits diatas menegaskan tentang waktu
pembayaran upah, agar sangat diperhatikan. Keterlambatan pembayaran
upah, dikategorikan sebagai perbuatan zalim dan orang yang tidak
membayar upah para pekerjanya termasuk orang yang dimusuhi oleh Nabi saw
pada hari kiamat. Dalam hal ini, Islam sangat menghargai waktu dan
sangat menghargai tenaga seorang karyawan (buruh).
ADIL bermakna PROPORSIONAL
“Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang
telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan)
pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan.” (QS. Al-Ahqaf : 19).
“Dan kamu tidak dibalas, melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Yaasin : 54).
“Bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm : 39).
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa pekerjaan seseorang
akan dibalas menurut berat pekerjaannya itu. Konteks ini yang oleh
pakar manajemen Barat diterjemahkan menjadi equal pay for equal job,
yang artinya, upah yang sama untuk jenis pekerjaan yang sama. Jika ada
dua orang atau lebih mengerjakan pekerjaan yang sama, maka upah mereka
mesti sama. Prinsip ini telah menjadi hasil konvensi International
Labour Organization (ILO) nomor 100.15
Sistem manajemen penggajian HAY atau yang sering
disebut dengan Hay System, telah menerapkan konsep ini. Siapapun
pekerja atau karyawannya, apakah tua atau muda, berpendidikan atau
tidak, selagi mereka mengerjakan pekerjaan yang sama, maka mereka akan
dibayar dengan upah yang sama.
LAYAK
Jika Adil berbicara tentang kejelasan, transparansi serta
proporsionalitas ditinjau dari berat pekerjaannya, maka Layak
berhubungan dengan besaran yang diterima
LAYAK bermakna CUKUP PANGAN, SANDANG, PAPAN
Jika ditinjau dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :
“Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah
saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang
siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan
seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa
yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan
tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas
seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).16
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Mustawrid bin Syadad Rasulullah Saw. bersabda:
“Aku mendengar Nabi Muhammad saw bersabda :
„Siapa yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia mencarikan istri
untuknya; ; seorang pembantu bila tidak memilikinya, hendaklah ia
mencarikannya untuk pembantunya. . Bila ia tidak mempunyai tempat
tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal. Abu Bakar
mengatakan:
Diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad
bersabda : Siapa yang mengambil sikap selain itu, maka ia adalah
seorang yang keterlaluan atau pencuri” (HR Abu Daud).17
Dari dua hadits diatas, dapat diketahui bahwa
kelayakan upah yang diterima oleh pekerja dilihat dari 3 aspek yaitu :
Pangan (makanan), Sandang (Pakaian) dan papan (tempat tinggal). Bahkan
bagi pegawai atau karyawan yang masih belum menikah, menjadi tugas
majikan yang mempekerjakannya untuk mencarikan jodohnya. Artinya,
hubungan antara majikan dengan pekerja bukan hanya sebatas hubungan
pekerjaan formal, tetapi karyawan sudah dianggap merupakan keluarga
majikan. Konsep menganggap karyawan sebagai keluarga majikan merupakan
konsep Islam yang lebih 14 abad yang lalu telah dicetuskan.
Konsep ini dipakai oleh pengusaha-pengusaha Arab pada
masa lalu, dimana mereka (pengusaha muslim) seringkali memperhatikan
kehidupan karyawannya di luar lingkungan kerjanya. Hal inilah yang
sangat jarang dilakukan saat ini. Wilson menulis dalam bukunya yang
berjudul Islamic Business Theory and Practice yang artinya
kira-kira “walaupun perusahaan itu bukanlah perusahaan keluarga, para
majikan Muslimin acapkali memperhatikan kehidupan karyawan di luar
lingkungan kerjanya, hal ini sulit untuk dipahami para pengusaha Barat“.[1] Konsep
inilah yang sangat berbeda dengan konsep upah menurut Barat. Konsep
upah menurut Islam, tidak dapat dipisahkan dari konsep moral.
Mungkin sah-sah saja jika gaji seorang pegawai di Barat sangat
kecil karena pekerjaannya sangat remeh (misalnya cleaning service). Tetapi dalam konsep Islam, meskipun cleaning service, tetap faktor LAYAK menjadi pertimbangan utama dalam menentukan berapa upah yang akan diberikan.
LAYAK bermakna SESUAI DENGAN PASARAN
“Dan janganlah kamu merugikan manusia akan hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” (QS. Asy-Syua’ra 26 : 183).
Ayat di atas bermakna bahwa janganlah seseorang
merugikan orang lain, dengan cara mengurangi hak-hak yang seharusnya
diperolehnya. Dalam pengertian yang lebih jauh, hak-hak dalam upah
bermakna bahwa janganlah mempekerjakan upah seseorang, jauh dibawah upah
yang biasanya diberikan. Misalnya saja untuk seorang staf administrasi,
yang upah perbulannya menurut pasaran adalah Rp 900.000,-. Tetapi di
perusahaan tertentu diberi upah Rp 500.000,-. Hal ini berarti
mengurangi hak-hak pekerja tersebut. Dengan kata lain, perusahaan
tersebut telah memotong hak pegawai tersebut sebanyak Rp 400.000,-
perbulan. Jika ini dibiarkan terjadi, maka pengusaha sudah tidak
berbuat layak bagi si pekerja tersebut.
Dari uraian Upah menurut Konsep Islam diatas, maka
dapat digambarkan bagaimana konsep Upah dalam Islam seperti tertera
dalam Gambar 2 Dapat dilihat bahwa Upah dalam konsep Syariah memiliki 2
dimensi, yaitu dimensi dunia dan dimensi akherat. Untuk menerapkan
upah dalam dimensi dunia, maka konsep moral merupakan hal yang
sangat penting agar pahala dapat diperoleh sebagai dimensi akherat
dari upah tersebut. Jika moral diabaikan, maka dimensi akherat tidak
akan tercapai. Oleh karena itulah konsep moral diletakkan pada kotak
paling luar, yang artinya, konsep moral diperlukan untuk menerapkan upah
dimensi dunia agar upah dimensi akherat dapat tercapai.
Dimensi upah di dunia dicirikan oleh 2 hal, yaitu
adil dan layak. Adil bermakna bahwa upah yang diberikan harus jelas,
transparan dan proporsional. Layak bermakna bahwa upah yang diberikan
harus mencukupi kebutuhan pangan, sandang dan papan serta tidak jauh
berada di bawah pasaran. Aturan manajemen upah ini perlu didudukkan pada
posisinya, agar memudahkan bagi kaum muslimin atau pengusaha muslim
dalam mengimplementasikan manajemen syariah dalam pengupahan karyawannya
di perusahan.
D. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Upah menurut Barat adalah Upah atau Gaji biasa, pokok atau
minimum dan setiap emolumen tambahan yang dibayarkan langsung atau tidak
langsung, apakah dalam bentuk uang tunai atau barang, oleh pengusaha
kepada pekerja dalam kaitan dengan hubungan kerja. Sedangkan Upah
menurut Islam adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya
dalam bentuk imbalan materi di dunia (adil dan layak) dan dalam bentuk
imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik).
Perbedaan pandangan terhadap Upah antara Barat dan Islam terletak dalam 2 hal : pertama, Islam melihat Upah sangat besar kaitannya dengan konsep Moral, sementara Barat tidak. Kedua,
Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi (kebendaan atau keduniaan)
tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi akherat yang disebut
dengan Pahala, sementara Barat tidak. Adapun persamaan kedua konsep
Upah antara Barat dan Islam terletak pada prinsip keadilan (justice) dan prinsip kelayakan (kecukupan).
Rambu-rambu pengupahan dalam Islam ada 2 yakni adil
dan layak. Adil bermakna 2 hal ; (1) jelas dan transparan, (2)
proporsional. Sedangkan Layak bermakna 2 hal;(1), cukup pangan, sandang
dan papan, (2), sesuai dengan pasaran.
2. Saran
Berhubung penelitian ini tidak membahas teori-teori pengupahan
yang selama ini dikenal, maka untuk penelitian lanjutan, perlu dilakukan
penelitian tentang teori-teori itu apakah sudah sesuai dengan syariah
atau belum. Jika belum sesuai dengan syariah, maka perlu modifikasinya
agar sesuai dengan syariah.
Catatan
1 Hikmah Tasyri’: Hikmah pembentukan hukum-hukum yang diperintahkan Allah (Hukum Islam). (Prof. H. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia), Yayasan Penyelengara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Jakarta, 1973.
2 Ahmad S. Ruky, Manajemen Penggajian dan Pengupahan Karyawan Perusahaan. Gramedia Pustaka Utama (Jakarta, 2001) hal 9.
3 Ibid. hal 7.
4 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 5, hal 670.
5 Ibid, Vol 7, hal. 342.
6 Ibid.
7 Ibid.
8 Shaleh, Mausu’ah al-Hadits asy-Syarif Kutubus Sittah Shahih Muslim Kitab al-Aiman bab 10, hal. 969.
9 Shaleh, Mausu’ah al-Hadits asy-Syarif Kutubus Sittah Sunan Abu Daud Kitab al-Kharaj bab 9 No. 2940, hal. 1443.
10 Abdul Wahhab Abdul Aziz As- Syaisyani. Huququl Insan Wa Hurriyyatul Asasiyah Fin Nidzomil Islami Wa Nudzumil A’siroti hal 464.
11 As-Sayyid Ahmad Al-Hasyimiy, Tarjamah Mukhtarul Ahaadits, Bandung: PT. Ma’arif, 1996, hal 552.
12 Shaleh, Mausu’ah al-Hadits asy-Syarif Kutubus Sittah Ibnu Majah Kitab ar-Ruhun, bab 4 hal. 2623.
13 Yusuf Qardhawi, Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, hal 405.
14 Shaleh, Mausu’ah al-Hadits asy-Syarif Kutubus Sittah Shahih Bukhari Kitab al-Buyu’, hadits ke 106, hal. 173.
15 Ruky, Op. Cit. hal 9.
16 Shaleh, Mausu’ah al-Hadits asy-Syarif Kutubus Sittah Shahih Muslim Kitab al-Aiman bab 10, hal. 969.
17 Shaleh, Mausu’ah al-Hadits asy-Syarif Kutubus Sittah Sunan Abu Daud Kitab al-Kharaj bab 9 No. 2940, hal. 1443.
18 Wilson , Islamic Business Theory and Practice, hal 111.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Abdul Aziz Asy-Syaisyani. 1980. Huququl Insan Wa hurriyyatul asasiyyah fin nidzomil Islami wa nudzumi al ma’asyiroti. Maktabah al-jam’iyyah Makkah
Arep, Ishak dan Hendri Tanjung. 2003. Manajemen Sumberdaya Manusia. Cet. Kedua. Penerbit Universitas Trisakti. Jakarta.
___________, 2003 Manajemen Motivasi. Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Armstrong, Michael. Murlis, Helen. 1980. Salary Administration- A Practical Guide for The Small and Medium-sized Organization. British Institute of Management Foundation. England.
Ayyub, Syeikh Hasan. 2003. Fiqh Al-Muamalah Al-Maliyah. Darus Salam. Kairo. Mesir.
Elizur, Dov. 1980. Job Evaluation : Asystematic Approach. Gower Publishing Company Ltd. England.
Hafidhuddin, Didin. 2002. Zakat Dalam Perekonomian Modern. Gema Insani. Jakarta.
_________ dan Hendri Tanjung. 2003. Manajemen Syariah Dalam Praktek. Penerbit Gema Insani Press. Jakarta
Jabnoun, Naceur. 1994. Islam and Management. Institut Kajian Dasar (IKD). Kuala Lumpur
Khan, M, Akram. 1996. Ajaran nabi Muhammad saw tentang Ekonomi (Kumpulan Hadits-hadits pilihan tentang Ekonomi). Penerbit PT Bank Muamalat Indonesia. Jakarta.
Nugrahantio. 2002. Compensation Management System, Set Up Kit Material. Jakarta. Tidak dipublikasikan.
Qardhawi, Syeikh Yusuf . 1997. Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. Robbani Press. Jakarta
Ruky, Achmad S. 2001. Manajemen Penggajian dan Pengupahan untuk Karyawan Perusahaan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Shihab, Quraisy. 2002. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Penerbit Lentera Hati. Jakarta.
Shabuni, Muhammad Ali As-. 1995. Shafwatut-Tafasir. Dar Ehia Al-Thourath Al-Arabi. Beirut.
Sholeh bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrohim. 2000. Mausuah al Hadits As Syarif Al Kutubus Sittah. Darussalam. Riyad
Tropman E. John. 2001. The Compensation Solution. How to Develop an Employee-Driven Rewards System. John Wiley & Sons, Inc.
Wilson, Rodney. 1985. Bisnis Menurut Islam. Teori dan Praktek (terjemahan). PT. Intermasa.
Zuhaily, Wahbah Al. 1991. Tafsir Al Munir Fil Aqidah, wa Syari’ah wal manhaj. Darul Fikr. Damsyik . Suriah.
Jurnal Ilmiah dari :
Hendri Tanjung
http://www.uika-bogor.ac.id