Memahami Jati Diri Muhammadiyah

Organisasi sosial keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah dan sosial ini sudah sedemikian besar, jika diukur dari jumlah anggota atau simpatisannya, amal usaha yang berhasil diwujudkan serta resonansi pemikiran yang telah dihasilkan. Dari sisi jumlah anggota, Muhammadiyah telah tersebar di hampir seluruh wilayah tanah air. Hampir-hampir tidak ada suatu kecamatan dan bahkan desa yang belum tersentuh oleh gerakan Muhammadiyah. Sehingga, tidak terlalu salah jika seorang Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengklaim warga Muhammadiyah saat ini tidak kurang dari 20 juta orang, sekalipun dalam pemilu capres yang lalu Pak Amien Rais sebagai salah seorang yang pernah menduduki Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah belum didukung oleh sejumlah suara itu, dengan alasan tidak semua warga Muhammadiyah mendukungnya.

Amal usaha Muhammadiyah juga sedemikian besar jumlahnya. Muhammadiyah telah memiliki ratusan rumah sakit dan klinik kesehatan, lembaga pendidikan baik tingkat dasar, sekolah menengah sampai perguruan tinggi. Jumlah sekolah dasar dan menengah menurut laporan yang seringkali disebut-sebut tidak kurang dari 10 ribu buah, perguruan tinggi Muhammadiyah, besar dan kecil, tidak kurang dari 100 an buah. Amal usaha Muhammadiyah akan lebih besar lagi jumlahnya jika dihitung pula dari masjid atau musholla yang berhasil didirikan.

Selanjutnya, jika dilihat dari sisi pemikiran, memang tidak mudah menakar, karena sifatnya yang abstrak. Akan tetapi jika hal itu dilihat dari berapa jumlah sarjana atau ulama, yang setidak-tidaknya dapat ditengarai sebagai anggota ataupun simpatisan organisasi yang mengklaim diri sebagai pembaharu ini sudah sangat besar. Oleh karena besarnya jumlah sarjana di lingkungan Muhammadiyah ini sampai-sampai muncul pameo yang membedakan antara Muhammadiyah dan NU. Jika NU dikenal sebagai organisasi kaya dengan ulama atau kyai, Muhammadiyah dikenal sebagai kaya sarjana. Fenomena ini sesungguhnya tidak sulit dicari akar penyebabnya. Muhammadiyah sudah lebih lama berorientasi pada pengembangan sekolah umum yang tentu menghasilkan sarjana, sedangkan NU pada awalnya lebih berorientasi pada pondok pesantren. Jika NU kemudian juga mengembangkan sekolah umum dan perguruan tinggi, hal itu merupakan gejala baru yang terjadi pada puluhan tahun terakhir ini saja.

Prestasi Muhammadiyah dalam membangun beberapa institusi terutama di bidang pendidikan, kesehatan serta rumah ibadah seperti digambarkan itu, merupakan sesuatu yang luar biasa. Sebab, organisasi ini sesungguhnya diakui atau tidak hanya mengandalkan kekuatan sendiri, yakni bersumber dari warga Muhammadiyah. Mereka tidak memperoleh support pendanaan dari pemerintah. Jika Muhammadiyah berhasil mendirikan sekolah, madrasah, universitas, rumah sakit atau masjid/musholla, semua itu hanya mengandalkan biaya dari warga atau simpatisan organisasi ini. Keadaan seperti ini kemudian Muhammadiyah disebut sebagai gerakan yang tumbuh dari bawah. Jika Muhammadiyah dalam membangun amal usaha memperoleh dana dari pemerintah, hanyalah bersifat bantuan. Walaupun pada hakekatnya, siapa membantu siapa memerlukan penjelasan yang memadai.

Pada sisi lain keberhasilan Muhammadiyah seperti itu melahirkan kesan, terutama dari kalangan eksternal, bahwa organisasi sosial keagamaan itu sedemikian kukuhnya. Atas dasar kesan itu selanjutnya terbangun pameo, jika mau belajar tentang bagaimana berorganisasi, mengurus pendidikan, mengelola rumah sakit dan sebagainya, maka datanglah ke Muhammadiyah. Dan, pada sisi lain, jika ingin membangun pondok pesantren, belajarlah pada Nahdlatul Ulama’. Pameo seperti itu tidak ayal melahirkan citra diri di lingkungan sebagian warga Muhammadiyah sebagai kelompok Islam yang modern, lebih maju, dan gerakan serta pemikirannya selalu mengikuti perkembangan zaman. Label seperti itu juga melahirkan sikap dan jati diri orang-orangnya yang berlebihan, seperti misalnya merasa lebih maju dan modern dan selalu berada pada posisi pembaharu dalam banyak hal dan lain-lain. Sikap-sikap seperti itu, sesungguhnya masih terbuka untuk diuji seacara kritis dan obyektif. Upaya ini saya anggap perlu, dari mana datangnya dan oleh siapa saja agar Muhammadiyah berpeluang memahami diri sendiri sebagai dasar untuk membawa organisasi ke arah yang lebih baik di tengah pergumulan dan perubahan masyarakat yang semakin cepat ini.

Ruh Muhammadiyah

Muhammadiyah sejak awal kehadirannya dikenal sebagai gerakan dakwah, amar ma’ruf nahyu anil mungkar di tengah masyarakat. Gerakan organisasi ini jika mengikuti pikiran para tokoh dan sejarah kelahirannya didorong oleh keprihatinan-keprihatinan terhadap adanya kesenjangan antara idealitas Islam yang sedemikian agung dengan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari para penganutnya yang keadaannya sedemikian jauh dari tuntunan ideal itu. Jika Islam mengajarkan tentang kebersihan, maka konsep ajaran itu tidak tampak dalam berbagai lapangan kehidupan dan juga institusi gerakan Islam. Karena itulah di kalangan Muhammadiyah seringkali dicontohkan apa yang dilakukan oleh Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, tentang bagaimana tokoh ini mengajarkan tentang Islam. Ia mengajarkan surat al Ma’un secara berulang-ulang hingga para santrinya bosan. Atas dasar suasana kebosanan itu kemudian Pendiri Muhammadiyah ini mengubah kegiatan mengajarnya dengan kegiatan yang lebih nyata, yaitu para santri-santrinya ditugasi membawa bahan-bahan apa saja yang dapat digunakan untuk menyantuni fakir miskin yang ada di sekitar kota Yogyakarta. Selanjutnya, melalui kegiatan nyata itu, Kyai Dahlan menunjukkan, tentang cara menjalankan ajaran Islam yang sesunguhnya. Ajaran itu diamalkan, artinya dikerjakan dan bukan sekedar dibaca, dihafalkan dan digunakan sebagai bacaan rutin pada setiap sholat.

Masyarakat Islam ketika itu, juga terbelenggu oleh nilai-nilai yang dianggap kurang sejalan dengan ajaran Islam, misalnya kepasrahan pada alam, kebiasaan mengikuti tradisi yang diberikan secara turun temurun dari leluhurnya, bahkan juga kebodohan, kemiskinan yang semua itu kurang beradaptasi dengan peubahan zaman. Mensikapi fenomena seperti itu, Muhammadiyah berani melakukan langkah dan atau tampil berbeda. Jika umat Islam ketika itu, sebagai contoh kecil, harus selalu menggunakan sarung dan peci, yang hal itu dianggap bersumber dari ajaran Islam, maka orang-orang Muhammadiyah berani ikut tradisi belanda menggunakan celana panjang dan tanpa peci. Muhammadiyah mendirikan sekolah, klinik kesehatan, mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah belanda untuk belajar tentang berbagai hal terkait dengan kesehatan, ketrampilan dan sebagainya. Langkah-langkah seperti ini, karena dianggap sebagai hal baru maka Muhammadiyah dikenal sebagai pembaharu.

Mendasarkan atas cara berpikir seperti itu maka Muhammadiyah mengklaim telah kembali ke ajaran yang bersumber pada al Qur’an dan hadits. Jika al Qur’an mengajak untuk menyantuni anak yatim dan orang miskin, maka sesegera mungkin tuntunan itu dijalankan, yaitu benar-benar berbuat menolong orang miskin dan anak yatim. Jika Islam menganjurkan untuk sholat berjama’ah, atau sholat berjama’ah dipandang lebih afdhol daripada sholat sendirian di rumah, maka Muhammadiyah menggerakkan anggotanya sesegera mungkin meninggalkan apa saja, segera pergi ke masjid untuk sholat berjama’ah ketika mendengarkan adzan sebagai panggilan sholat. Jika ada tuntunan bahwa pendidikan itu penting, maka Muhammadiyah segera membangun dan menyiapkan segala perangkat yang diperlukan untuk menyelenggarakan pendidikan. Dan, seterusnya perintah-perintah lainnya, segera ditunaikan sebagai pengamalan al Qur’an dan hadits Nabi.

Melalui uraian di atas, sesungguhnya Muhammadiyah ingin menjadikan al Qur’an benar-benar sebagai tuntunan dalam seluruh kehidupan ini. Hanya dalam perjalanan sejarah selanjutnya, gerakan organisasi itu mengalami pasang surut. Bahkan, tidak ayal para penerusnya justru memahami Muhammadiyah sebatas sebagai organisasi. Muhammadiyah sebagai organisasi lebih menonjol daripada Muhammadiyah sebagai gerakan Islam. Tidak jarang anggota dan bahkan pimpinan Muhammadiyah lebih membela struktur dan aturan-aturan organisasinya daripada mengedepankan substansi gerakannya itu sendiri. Oleh karena itu, tidak sedikit di Muhammadiyah terjadi problem-problem organisasi yang menyebabkan gerakannya mandek. Muhammadiyah yang sesungguhnya adalah gerakan dakwah, yaitu mengajak orang menjalankan ajaran Islam secara kaffah, ternyata dalam tataran praktek di lapangan, justru berbalik arah. Alih-alih sukses menambah anggota, justru yang sudah masuk menjadi anggota Muhammadiyah pun keluar dan bahkan juga dikeluarkan. Inilah konsekuensi sebagai kehidupan organisasi, yang seharusnya tidak terjadi jika itu adalah organisasi keagamaan.

Lalu, apakah sesungguhnya ruh Muhammadiyah itu. Saya menangkap bahwa sesungguhnya ruh Muhammadiyah adalah etos, semangat, cita-cita dan keinginan menjadikan al Qur’an dan hadits sebagai pedoman hidup dan benar-benar ditampakkan dalam kehidupan sehari hari. Atau, ialah perjuangan menjadikan Rosulullah, Muhammad saw., sebagai tauladan yang selalu diikutinya. Jika itu pengtertiannya maka selayaknya Muhammadiyah tidak sebagaimana organisasi lain, lebih mengedepankan aspek organisasi, padahal seharusnya lebih menyentuh aspek substansialnya sebagai gerakan dakwah. Semestinya tujuan utama ialah berdakwah tidak boleh terganggu oleh apapun, termasuk kepentingan organisasinya.

0 komentar:

Posting Komentar

Write here, about you and your blog.
 
Copyright 2009 PENA PELAJAR All rights reserved.
Free Blogger Templates by DeluxeTemplates.net
Wordpress Theme by EZwpthemes