Konsep Manajemen Syariah (dalam pengupahan karyawan perusahaan)

Masalah pengupahan adalah masalah yang tidak pernah selesai diperdebatkan oleh pihak manajemen, apapun bentuk organisasinya.  Upah seolah-olah kata-kata yang selalu membuat pihak manajemen perusahaan berpikir ulang dari waktu ke waktu untuk menetapkan kebijakan tentang upah.  Upah juga yang selalu memicu konflik antara pihak manajemen dengan karyawan seperti yang banyak terjadi akhir-akhir ini.
Hal yang juga tidak kalah pentingnya dari manajemen pengupahan adalah perbedaan tingkat besar upah yang diterima.  Banyak terjadi kasus dimana seorang karyawan yang protes kepada pihak manajemen akibat gajinya lebih kecil daripada pegawai baru, padahal pekerjaannya sama.  Diantaranya adalah seperti yang terjadi di salah satu perusahaan di Jakarta pada Tahun 2003.  Perusahaan tersebut menerapkan kebijakan bagi pegawai baru, bahwa penentuan gaji pegawai baru didasarkan atas bargaining (tawar menawar) pada saat masuk kerja.  Pengalaman bekerja dan imbalan yang diterima di tempat lain menjadi pertimbangan untuk penentuan gaji pegawai baru tersebut. Tetapi fakta      yang terjadi akibat kebijakan baru itu adalah timbulnya keresahan pada pegawai lama yang merasa tidak dihargai    perusahaan   karena   gajinya   lebih   kecil daripada pegawai baru, padahal pekerjaannya sama.  Ada juga  fakta di mana  bonus   yang dibagikan kepada   karyawan  Menimbulkan protes karyawan. Seharusnya jika perusahaan memberikan bonus kepada karyawan karena perusahaan untung, maka karyawan bersyukur dan berterimakasih kepada perusahaan.  Tetapi yang terjadi disalah satu perusahaan di Jakarta tahun 2003 adalah sebaliknya, karyawan protes terhadap kebijakan pembagian bonus.  Perusahaan menetapkan kebijakan bahwa sebesar 80% laba perusahaan dikembalikan kepada karyawan.  Jika laba operasional sebesar 1 milyar rupiah, dikembalikan 800 juta rupiah dalam bentuk Bonus.  Beberapa karyawan protes karena bonus yang diterimanya lebih kecil dari yang diharapkannya.  Sebagian lagi protes karena pada karyawan yang pekerjaan dan tugasnya sama, bonus yang diberikan berbeda-beda.
Berdasarkan kondisi yang telah diuraikan, maka konsep manajemen syariah dalam pengupahan karyawan perusahaan menjadi penting untuk diteliti, bagaimana sebenarnya Syariat menggariskan aturan tentang pengupahan tersebut.
2. Perumusan Masalah
Berkaitan dengan upah, adalah perlu dilihat pandangan kedua belah pihak yang cenderung berseberangan, yaitu karyawan dan pihak manajemen perusahaan.  Seringkali pandangan yang berbeda menimbulkan    konflik yang jika tidak segera    diselesaikan   akan      menyebabkan kehancuran perusahaan.  Konsep konvensional (Barat) telah menggariskan beberapa kebijakan manajemen tentang gaji diantaranya defenisi upah, teori upah serta perbedaan tingkat upah.
Bagaimana sebenarnya defenisi upah menurut Barat ?  Bagaimana pula Defenisi Upah menurut Islam?  Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi penting diketahui untuk mendudukkan persoalan upah ini pada tempatnya.
Berdasarkan uraian dan keadaan faktual perusahaan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
Apa pengertian upah menurut konsep Barat ?
Apa pengertian upah menurut konsep Islam ?
Apa persamaan dan perbedaan antara kedua konsep tersebut ?
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan konsep penggajian dan pengupahan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan syariah. Apabila dirinci lebih lanjut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk :
Mengetahui  pengertian upah menurut konsep Barat
Mengetahui  pengertian upah menurut konsep Islam
Mengetahui  persamaan dan perbedaan antara kedua konsep tersebut
Diharapkan dengan mengetahui konsep manajemen syariah dalam pengupahan karyawan, maka bermanfaat untuk dijadikan acuan bagi perusahaan atau badan-badan usaha  lainnya.
4. Ruang Lingkup Penelitian
Lingkup penelitian ini dibatasi hanya pada pengupahan karyawan perusahaan.  Penelitian ini tidak membahas pengupahan di pegawai Negeri (PNS) maupun di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
B.  METODE PENELITIAN
1. Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini adalah  2 bulan terhitung bulan Januari-Februari 2004.
2. Sumber Data
Sumberdata yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa tafsiran tentang ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasul saw.  Di samping itu, diperhatikan juga kaidah-kaidah hukum dan pandangan-pandangan Fiqh.
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi dari berbagai literatur. Artinya data-data yang diperlukan telah tersedia, dan bila perlu dapat diambil dengan cara mencatat.
4. Metoda Analisis Data
Berkaitan dengan kajian syari’ah itu, ada 3 hal yang digunakan sebagai pisau untuk menganalisis praktek manajemen modern , yaitu : Pertama, Aspek Normatif  /ajaran dengan rujukan Al-Qur’an dan Hadits, Kedua, Kaidah-kaidah Hukum, dan Ketiga , Pandangan-pandangan Fiqh.
Dalam aspek Normatif,  terdapat Norma dari tinjauan hukum/ahkam  baik hasil kajian dengan pendekatan harfiah (aliran   Zhahiri)    pendekatan     kontekstual antara satu dalil (nash) dengan nash yang lain, dan kadang didukung dengan analitis filosofis (tujuan dan hikmah Tasyri’)[1] seperti pendekatan Jumhur Ulama dan Normatif dari tinjauan akhlaq (posisi/etis dan moral).  Adapun Pisau Kajian Syari’ah dapat dilihat pada Gambar 1. berikut ini


C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pengertian Upah dalam Konsep Islam
Upah menurut pengertian Barat terkait dengan pemberian imbalan kepada pekerja tidak tetap, atau tenaga buruh lepas, seperti upah buruh lepas di perkebunan kelapa sawit, upah pekerja bangunan yang dibayar mingguan atau bahkan harian. Sedangkan gaji menurut pengertian Barat terkait dengan imbalan uang (finansial) yang diterima oleh karyawan atau pekerja tetap dan dibayarkan sebulan sekali. Sehingga   dalam pengertian barat, Perbedaan gaji  dan upah itu terletak pada Jenis karyawannya (Tetap atau tidak tetap) dan sistem pembayarannya (bulanan atau tidak).  Meskipun titik berat antara upah dan        gaji    terletak    pada     jenis     karyawannya apakah tetap ataukah tidak.
“Upah atau Gaji biasa, pokok atau minimum dan setiap emolumen tambahan yang dibayarkan langsung atau tidak langsung, apakah dalam bentuk uang tunai atau barang, oleh pengusaha kepada pekerja dalam kaitan dengan hubungan kerja”  (Konvensi ILO nomor 100).2
Menurut Dewan Penelitian Perupahan Nasional : Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan akan dilakukan, berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, undang-undang dan peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi dan penerima kerja.3
Dalam hal perbedaan pengertian upah dan gaji menurut konsep Barat di atas, maka Islam menggariskan upah dan gaji lebih komprehensif dari pada Barat.
Allah menegaskan tentang imbalan ini dalam Qur’an sbb :
“Dan katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan.” (At Taubah : 105).
Dalam menafsirkan At Taubah ayat 105 ini, Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah sbb :
Bekerjalah Kamu, demi karena Allah semata dengan aneka amal yang saleh dan bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan melihat yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu”4
Tafsir dari melihat dalam keterangan diatas adalah menilai dan memberi ganjaran terhadap amal-amal itu.  Sebutan lain daripada ganjaran adalah imbalan atau upah atau compensation.
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl : 97).
Dalam menafsirkan At Nahl ayat 97 ini, Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah sbb :
Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, apapun jenis kelaminnya, baik laki-laki maupun perempuan, sedang dia adalah mukmin yakni amal yang dilakukannya lahir atas dorongan keimanan yang shahih, maka sesungguhnya pasti akan kami berikan kepadanya masing-masing kehidupan yang baik di dunia ini dan sesungguhnya akan kami berikan balasan kepada mereka semua di dunia  dan di akherat dengan pahala yang lebih    baik dan   berlipat  ganda dari  apa   yang telah mereka kerjakan“.5
Tafsir dari balasan dalam keterangan d iatas adalah balasan di dunia dan di akherat.  Ayat ini menegaskan bahwa balasan atau imbalan bagi mereka yang beramal saleh adalah imbalan dunia dan imbalan akherat.  Amal Saleh sendiri oleh Syeikh Muhammad Abduh didefenisikan sebagai segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok dan manusia secara keseluruhan.6 Sementara menurut Syeikh Az-Zamakhsari, Amal Saleh adalah segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, al-Qur’an dan atau Sunnah Nabi Muhammad Saw.7 Menurut Defenisi Muhammad Abduh dan Zamakhsari diatas, maka seorang yang bekerja pada suatu badan usaha (perusahaan) dapat dikategorikan sebagai amal saleh, dengan syarat perusahaannya tidak memproduksi/menjual atau mengusahakan barang-barang yang haram.  Dengan demikian, maka seorang karyawan yang bekerja dengan benar, akan menerima dua imbalan, yaitu imbalan di dunia dan imbalan di akherat.
“Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik.” (Al Kahfi : 30).
Berdasarkan tiga ayat diatas, yaitu  At-Taubah 105, An-Nahl 97 dan                  Al-Kahfi 30, maka Imbalan dalam konsep Islam menekankan pada dua aspek, yaitu dunia dan akherat.  Tetapi hal yang paling penting, adalah bahwa penekanan kepada akherat  itu lebih penting daripada penekanan  terhadap    dunia    (dalam   hal   ini     materi) sebagaimana semangat dan jiwa Al-Qur’an surat Al-Qhashsash ayat 77.
Surat At Taubah 105 menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kita untuk bekerja, dan Allah pasti membalas semua apa yang telah kita kerjakan. Yang paling unik dalam ayat ini adalah penegasan Allah bahwa motivasi atau niat bekerja itu mestilah benar.  Sebab kalau motivasi bekerja tidak benar, Allah akan membalas dengan cara memberi azab. Sebaliknya, kalau motivasi itu benar, maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan balasan yang lebih baik dari apa yang kita kerjakan (An-Nahl : 97).
Lebih jauh Surat An-Nahl : 97 menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan gender dalam menerima upah / balasan dari Allah.  Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi upah dalam Islam, jika mereka mengerjakan pekerjaan yang sama.  Hal yang menarik dari ayat ini, adalah balasan Allah langsung di dunia (kehidupan yang baik/rezeki yang halal) dan balasan di akherat (dalam bentuk pahala).
Sementara itu, Surat Al-Kahfi : 30 menegaskan bahwa balasan terhadap pekerjaan yang telah dilakukan manusia, pasti Allah balas dengan adil.  Allah tidak akan berlaku zalim dengan cara menyia-nyiakan amal hamba-Nya.  Konsep keadilan dalam upah inilah yang sangat mendominasi dalam setiap praktek yang pernah terjadi di negeri Islam.
Lebih lanjut kalau kita lihat hadits Rasulullah saw tentang upah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :
Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).8
Dari hadits ini dapat didefenisikan bahwa upah yang sifatnya materi (upah di dunia) mestilah terkait dengan keterjaminan dan ketercukupan pangan dan sandang.  Perkataan : “harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri)” , bermakna bahwa upah yang diterima harus menjamin makan dan pakaian karyawan yang menerima upah.
Dalam hadits yang lain, diriwayatkan dari Mustawrid bin Syadad Rasulullah s.a.w bersabda :
“Siap yang menjadi pekerja bagi kita,    hendaklah    ia   mencarikan    isteri (untuknya); seorang  pembantu  bila    tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. Bila ia tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal. Abu Bakar mengatakan: Diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Siapa yang mengambil sikap selain itu, maka ia adalah seorang yang keterlaluan atau pencuri.” (HR. Abu Daud).9
Hadits ini menegaskan bahwa kebutuhan papan (tempat tinggal) merupakan kebutuhan azasi bagi para karyawan. Bahkan menjadi tanggung jawab majikan juga untuk mencarikan jodoh bagi karyawannya yang masih lajang (sendiri).  Hal ini ditegaskan lagi oleh Doktor Abdul Wahab Abdul Aziz As-Syaisyani dalam kitabnya Huququl Insan Wa Hurriyyatul Asasiyah Fin Nidzomil Islami Wa Nudzumil Ma’siroti bahwa mencarikan istri juga merupakan kewajiban majikan, karena istri adalah kebutuhan pokok bagi para karyawan.10
Sehingga dari ayat-ayat  Al-Qur’an di atas, dan dari hadits-hadits di atas, maka dapat didefenisikan bahwa : Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adil dan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik).
Dari uraian diatas, paling tidak terdapat 2 Perbedaan konsep Upah antara Barat dan Islam: pertama,  Islam melihat Upah sangat besar kaitannya dengan konsep Moral, sementara Barat tidak.  Kedua, Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi (kebendaan atau keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi akherat yang disebut dengan Pahala, sementara Barat tidak. Adapun persamaan kedua konsep Upah antara Barat dan Islam adalah; pertama, prinsip keadilan (justice), dan kedua, prinsip kelayakan (kecukupan).
Tabel 1. Konsep Upah antara Barat dan Islam
No Aspek Barat Islam
1 Keterkaitan yang erat antara UPAH dengan MORAL Tidak Ya
2 Upah memiliki dua dimensi : Dunia dan akherat Tidak Ya
3 Upah diberikan berdasarkan Prinsip Keadilan  (justice) Ya Ya
4 Upah diberikan berdasarkan prinsip Kelayakan Ya Ya
ADIL
Organisasi yang menerapkan prinsip keadilan dalam pengupahan mencerminkan organisasi yang dipimpin oleh orang-orang bertaqwa.  Konsep adil ini merupakan ciri-ciri organisasi yang bertaqwa.  Al-Qur’an menegaskan :
“Berbuat adillah, karena adil itu lebih dekat kepada Taqwa”. (QS. Al-Maidah : 8).
ADIL bermakna JELAS dan TRANSPARAN
“Hai orang-orang yang beriman, apabila   kamu   bemua’malah   tidak     secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.  Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar.  Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.  Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.  Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu.  Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang  perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.  Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka di panggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.  Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mua’malahmu itu), kecuali jika mua’malah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, (jika) kamu tidak menulisnya.  Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan.  Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 282)
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Maidah : 1).
Nabi bersabda :
“Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan”. (HR. Baihaqi).11
Dari dua ayat Al-Qur’an dan hadits riwayat Baihaqi di atas, dapat diketahui bahwa prinsip utama keadilan terletak pada Kejelasan aqad (transaksi)  dan komitmen melakukannya.  Aqad dalam perburuhan adalah aqad yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha.  Artinya, sebelum pekerja dipekerjakan, harus jelas dahulu bagaimana upah yang akan diterima oleh pekerja. Upah tersebut meliputi besarnya upah dan tata cara pembayaran upah.  Khusus untuk cara pembayaran upah, Rasulullah bersabda :
“Dari Abdillah bin Umar, Rasulullah Saw. Bersabda: “Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya“. (HR. Ibnu Majah dan Imam Thabrani).12
Dalam menjelaskan hadits itu, Syeikh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, menjelaskan sebagai berikut :
Sesungguhnya seorang pekerja hanya berhak atas upahnya jika ia telah menunaikan pekerjaannya dengan semestinya dan sesuai dengan kesepakatan, karena umat Islam terikat dengan syarat-syarat antar mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.  Namun, jika ia membolos bekerja tanpa alasan yang benar atau sengaja menunaikannya dengan tidak semestinya, maka sepatutnya hal itu diperhitungkan atasnya (dipotong upahnya) karena setiap hak dibarengi dengan kewajiban.  Selama ia mendapatkan  upah  secara penuh, maka kewajibannya juga harus dipenuhi.  Sepatutnya hal ini dijelaskan secara detail dalam “peraturan kerja” yang menjelaskan masing-masing hak dan kewajiban kedua belah pihak.13
Dari penjelasan Syeikh Qardhawi diatas, dapat dilihat bahwa upah atau gaji merupakan hak karyawan selama karyawan tersebut bekerja dengan baik. Jika pekerja tersebut tidak benar dalam bekerja (yang dicontohkan oleh Syeikh Qardhawi dengan bolos tanpa alasan yang jelas), maka gajinya dapat dipotong atau disesuaikan. Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa selain hak karyawan memperoleh upah  atas apa yang diusahakannya, juga hak perusahaan untuk memperoleh hasil kerja dari karyawan dengan baik. Bahkan Syeikh Qardhawi mengatakan bahwa bekerja  yang baik merupakan  kewajiban karyawan atas hak upah yang diperolehnya, demikian juga, memberi upah merupakan kewajiban perusahaan atas hak hasil kerja karyawan yang diperolehnya.  Dalam keadaan masa kini, maka aturan-aturan bekerja yang baik itu, dituangkan dalam buku Pedoman Kepegawaian yang ada di masing-masing perusahaan. Hadits lain yang menjelaskan tentang pembayaran upah ini adalah :
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad Saw. bahwa beliau bersabda: “Allah telah berfirman: “Ada tiga jenis manusia dimana Aku adalah musuh mereka nanti di hari kiamat. Pertama, adalah orang yang membuat komitmen akan memberi atas nama-Ku (bersumpah dengan nama-Ku), kemudian ia tidak memenuhinya. Kedua, orang yang menjual seorang manusia bebas (bukan budak), lalu memakan uangnya. Ketiga, adalah orang yang menyewa seorang upahan dan mempekerjakan dengan penuh, tetapi tidak membayar upahnya” (HR. Bukhari).14
Hadits-hadits diatas menegaskan tentang waktu pembayaran upah, agar sangat diperhatikan.  Keterlambatan pembayaran upah, dikategorikan sebagai perbuatan zalim dan orang yang tidak membayar upah para pekerjanya termasuk orang yang dimusuhi oleh Nabi saw pada hari kiamat. Dalam hal ini, Islam sangat menghargai waktu dan sangat menghargai tenaga seorang karyawan (buruh).
ADIL bermakna PROPORSIONAL
“Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan.” (QS. Al-Ahqaf  :  19).
“Dan kamu tidak dibalas, melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Yaasin : 54).
“Bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm : 39).
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa pekerjaan seseorang akan dibalas menurut berat pekerjaannya itu.  Konteks ini yang oleh pakar manajemen Barat diterjemahkan menjadi equal pay for equal job, yang artinya, upah yang sama untuk jenis pekerjaan yang sama.  Jika ada dua orang atau lebih mengerjakan pekerjaan yang sama, maka upah mereka mesti sama.  Prinsip ini telah menjadi hasil konvensi International Labour Organization (ILO) nomor 100.15
Sistem manajemen penggajian HAY atau yang sering disebut dengan Hay System, telah menerapkan konsep ini.  Siapapun pekerja atau karyawannya, apakah tua atau muda, berpendidikan atau tidak, selagi mereka mengerjakan pekerjaan yang sama, maka mereka akan dibayar dengan upah yang sama.
LAYAK
Jika Adil berbicara tentang kejelasan, transparansi serta proporsionalitas ditinjau dari berat pekerjaannya,   maka  Layak  berhubungan dengan besaran yang diterima
LAYAK bermakna CUKUP PANGAN, SANDANG, PAPAN
Jika ditinjau dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :
“Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).16
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Mustawrid bin Syadad Rasulullah Saw. bersabda:
“Aku mendengar Nabi Muhammad saw bersabda :  „Siapa yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia mencarikan istri untuknya; ; seorang pembantu bila tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. .  Bila ia tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal. Abu   Bakar   mengatakan:
Diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad bersabda  : Siapa yang mengambil sikap selain itu, maka ia adalah seorang yang keterlaluan atau pencuri” (HR Abu  Daud).17
Dari dua hadits diatas, dapat diketahui bahwa kelayakan upah yang diterima oleh pekerja dilihat dari 3 aspek yaitu : Pangan (makanan), Sandang (Pakaian) dan papan (tempat tinggal).  Bahkan bagi pegawai atau karyawan yang masih belum menikah, menjadi tugas majikan yang mempekerjakannya untuk mencarikan jodohnya.  Artinya, hubungan antara majikan dengan pekerja bukan hanya sebatas hubungan pekerjaan formal, tetapi karyawan sudah dianggap merupakan keluarga majikan.  Konsep menganggap karyawan sebagai keluarga majikan merupakan konsep Islam yang lebih 14 abad yang lalu telah dicetuskan.
Konsep ini dipakai oleh pengusaha-pengusaha Arab pada masa lalu, dimana mereka (pengusaha muslim) seringkali memperhatikan kehidupan karyawannya  di luar lingkungan kerjanya. Hal inilah yang sangat jarang dilakukan saat ini. Wilson menulis dalam bukunya yang berjudul Islamic Business Theory and Practice yang artinya kira-kira “walaupun perusahaan itu bukanlah perusahaan keluarga, para majikan Muslimin acapkali memperhatikan kehidupan karyawan di luar lingkungan kerjanya, hal ini sulit untuk dipahami para pengusaha Barat“.[1] Konsep inilah yang sangat berbeda dengan konsep upah menurut Barat. Konsep upah menurut Islam, tidak dapat dipisahkan dari     konsep moral.  Mungkin sah-sah saja jika gaji seorang   pegawai di Barat  sangat   kecil karena pekerjaannya sangat remeh (misalnya cleaning service).  Tetapi dalam konsep Islam, meskipun cleaning service, tetap faktor LAYAK menjadi pertimbangan utama dalam menentukan berapa upah yang akan diberikan.
LAYAK bermakna SESUAI DENGAN PASARAN
“Dan janganlah kamu merugikan manusia akan hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” (QS. Asy-Syua’ra 26 : 183).
Ayat di atas bermakna bahwa janganlah seseorang merugikan orang lain, dengan cara mengurangi hak-hak yang seharusnya diperolehnya.  Dalam pengertian yang lebih jauh, hak-hak dalam upah bermakna bahwa janganlah mempekerjakan upah seseorang, jauh dibawah upah yang biasanya diberikan. Misalnya saja untuk seorang staf administrasi, yang upah perbulannya menurut pasaran adalah Rp 900.000,-.  Tetapi di perusahaan tertentu diberi upah Rp 500.000,-.  Hal ini berarti mengurangi hak-hak pekerja tersebut. Dengan kata lain, perusahaan tersebut telah memotong hak pegawai tersebut sebanyak Rp 400.000,- perbulan.  Jika ini dibiarkan terjadi, maka pengusaha sudah tidak berbuat layak bagi si pekerja tersebut.
Dari uraian Upah menurut Konsep Islam diatas, maka dapat digambarkan bagaimana konsep Upah dalam Islam seperti tertera dalam Gambar 2  Dapat dilihat bahwa Upah dalam konsep Syariah memiliki 2 dimensi, yaitu dimensi dunia dan dimensi akherat.  Untuk menerapkan upah  dalam  dimensi  dunia,   maka  konsep moral merupakan  hal  yang  sangat  penting    agar pahala dapat diperoleh sebagai dimensi akherat dari upah tersebut.  Jika moral diabaikan, maka dimensi akherat tidak akan tercapai. Oleh karena itulah konsep moral diletakkan pada kotak paling luar, yang artinya, konsep moral diperlukan untuk menerapkan upah dimensi dunia agar upah dimensi akherat dapat tercapai.
Dimensi upah di dunia dicirikan oleh 2 hal, yaitu adil dan layak.  Adil bermakna bahwa upah yang diberikan harus jelas, transparan dan proporsional. Layak bermakna bahwa upah yang diberikan harus mencukupi kebutuhan pangan, sandang dan papan serta tidak jauh berada di bawah pasaran. Aturan manajemen upah ini perlu didudukkan pada posisinya, agar memudahkan bagi kaum muslimin atau pengusaha muslim dalam mengimplementasikan manajemen syariah dalam pengupahan karyawannya di perusahan.
D. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Upah menurut Barat adalah Upah atau Gaji biasa, pokok atau minimum dan setiap emolumen tambahan yang dibayarkan langsung atau tidak langsung, apakah dalam bentuk uang tunai atau barang, oleh pengusaha kepada pekerja dalam kaitan dengan hubungan kerja.  Sedangkan Upah menurut Islam adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (adil dan layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik).
Perbedaan pandangan terhadap Upah antara Barat dan Islam terletak dalam 2 hal : pertama,  Islam melihat Upah sangat besar kaitannya dengan konsep Moral, sementara Barat tidak.  Kedua, Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi (kebendaan atau keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi akherat yang disebut dengan Pahala, sementara Barat tidak.  Adapun persamaan kedua konsep Upah antara Barat dan Islam terletak pada prinsip keadilan (justice) dan prinsip kelayakan (kecukupan).
Rambu-rambu pengupahan dalam Islam ada 2 yakni adil dan layak.  Adil bermakna 2 hal ; (1) jelas dan transparan, (2) proporsional.  Sedangkan Layak bermakna 2 hal;(1), cukup pangan, sandang dan papan, (2), sesuai dengan pasaran.
2. Saran
Berhubung penelitian ini tidak membahas teori-teori pengupahan yang selama ini dikenal, maka untuk penelitian lanjutan, perlu dilakukan penelitian tentang teori-teori itu apakah sudah sesuai dengan syariah atau belum.  Jika belum sesuai dengan syariah, maka perlu modifikasinya agar sesuai dengan syariah.
Catatan
1 Hikmah Tasyri’: Hikmah pembentukan hukum-hukum yang diperintahkan Allah (Hukum Islam). (Prof. H. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia), Yayasan Penyelengara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Jakarta, 1973.
2 Ahmad S. Ruky, Manajemen Penggajian dan Pengupahan Karyawan Perusahaan. Gramedia Pustaka Utama (Jakarta, 2001) hal 9.
3   Ibid. hal 7.
4 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 5, hal 670.
5  Ibid, Vol 7, hal. 342.
Ibid.
Ibid.
8 Shaleh, Mausu’ah al-Hadits asy-Syarif Kutubus Sittah Shahih Muslim Kitab al-Aiman bab 10, hal. 969.
9 Shaleh, Mausu’ah al-Hadits asy-Syarif Kutubus Sittah Sunan Abu Daud Kitab al-Kharaj bab 9 No. 2940, hal. 1443.
10 Abdul Wahhab Abdul Aziz As- Syaisyani. Huququl Insan Wa Hurriyyatul Asasiyah Fin Nidzomil Islami Wa Nudzumil A’siroti hal 464.
11 As-Sayyid Ahmad Al-Hasyimiy, Tarjamah Mukhtarul Ahaadits, Bandung: PT. Ma’arif, 1996, hal 552.
12 Shaleh, Mausu’ah al-Hadits asy-Syarif Kutubus Sittah Ibnu Majah Kitab ar-Ruhun, bab 4 hal. 2623.
13 Yusuf Qardhawi, Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, hal 405.
14 Shaleh, Mausu’ah al-Hadits asy-Syarif Kutubus Sittah Shahih Bukhari Kitab al-Buyu’, hadits ke 106, hal. 173.
15 Ruky, Op. Cit. hal 9.
16 Shaleh, Mausu’ah al-Hadits asy-Syarif Kutubus Sittah Shahih Muslim Kitab al-Aiman bab 10, hal. 969.
17 Shaleh, Mausu’ah al-Hadits asy-Syarif Kutubus Sittah Sunan Abu Daud Kitab al-Kharaj bab 9 No. 2940, hal. 1443.
18 Wilson , Islamic Business Theory and Practice, hal 111.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Abdul Aziz Asy-Syaisyani. 1980. Huququl Insan Wa hurriyyatul asasiyyah fin nidzomil Islami wa nudzumi al ma’asyiroti.  Maktabah al-jam’iyyah Makkah
Arep, Ishak dan Hendri Tanjung. 2003.  Manajemen Sumberdaya Manusia.  Cet. Kedua. Penerbit  Universitas Trisakti. Jakarta.
___________, 2003  Manajemen Motivasi.  Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Armstrong, Michael.  Murlis, Helen.  1980.  Salary Administration- A Practical Guide   for The Small and Medium-sized Organization.  British Institute of Management Foundation. England.
Ayyub, Syeikh Hasan.  2003. Fiqh  Al-Muamalah Al-Maliyah.  Darus Salam.  Kairo. Mesir.
Elizur, Dov.  1980.  Job Evaluation : Asystematic Approach.  Gower Publishing Company Ltd. England.
Hafidhuddin, Didin. 2002.  Zakat Dalam Perekonomian Modern. Gema Insani. Jakarta.
_________ dan Hendri Tanjung.  2003.  Manajemen Syariah Dalam Praktek.  Penerbit Gema Insani Press. Jakarta
Jabnoun, Naceur. 1994.  Islam and Management.  Institut Kajian Dasar (IKD). Kuala Lumpur
Khan, M, Akram.  1996. Ajaran nabi Muhammad saw tentang Ekonomi (Kumpulan Hadits-hadits pilihan tentang Ekonomi). Penerbit PT Bank Muamalat Indonesia. Jakarta.
Nugrahantio. 2002. Compensation Management System, Set Up Kit Material. Jakarta. Tidak dipublikasikan.
Qardhawi, Syeikh Yusuf .  1997.  Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. Robbani Press. Jakarta
Ruky, Achmad S.  2001.  Manajemen Penggajian dan Pengupahan untuk Karyawan          Perusahaan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.  Jakarta.
Shihab, Quraisy.  2002.  Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an.  Penerbit Lentera Hati. Jakarta.
Shabuni, Muhammad Ali As-.  1995.   Shafwatut-Tafasir.  Dar Ehia Al-Thourath Al-Arabi. Beirut.
Sholeh bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrohim.  2000. Mausuah al Hadits As Syarif Al Kutubus Sittah.  Darussalam. Riyad
Tropman E. John.  2001.  The Compensation Solution.  How to Develop an Employee-Driven Rewards System. John Wiley & Sons, Inc.
Wilson, Rodney.  1985.  Bisnis Menurut Islam. Teori dan Praktek (terjemahan). PT. Intermasa.
Zuhaily, Wahbah Al. 1991.   Tafsir Al Munir Fil Aqidah, wa Syari’ah wal manhaj.  Darul Fikr.  Damsyik . Suriah.
Jurnal Ilmiah dari :
Hendri Tanjung
http://www.uika-bogor.ac.id

BIOGRAFI DAN TEORI EMILE DURKHEIM EMILE DURKHEIM

Biografi
Durkheim dilahirkan di Epinal, prancis, yang terletak di Lorraine. Ia berasal dari keluarga Yahudi prancis yang saleh. Ayah dan kakeknya adalah Rabi. Hidup Durkheim sendiri sama sekali secular. Malah kebanyakan dari karyanya dimaksudkan untuk dimaksudkan untuk membuktikan bahwa fenomena keagamaan berasal dari faktor-faktor social dan bukan  ilahi.
Tahun 1890-an  adalah  masa kreatif Durkheim. Pada 1893 ia menerbitkan: pembagian  kerja dalam masyarakat . pernyataan dasariahnya tentang hakikat masyarakat manusia dan perkembangannya. Pada 1895 ia menerbitkan “Aturan-aturan Metode sosiologis”, sebuah manifesto yang menyatakan apakah sosiologi itu dan bagaimana ia harus dilakukan. Ia pun mendirikan Jurusan Sosiologi pertama di Eropa di Universitas Bourdeaux. Pada 1896 ia menerbitkan jurnal L’Anne Sociologique untuk menerbitkan dan mempublikasikan tulisan-tulisan dari kelompok yang kian bertambah dari mahasiswa dan rekan (ini adalh sebutan yang digunakan untuk kelompok mahasiswa yang mengembangkan progam sosiologinya). Dan akhirnya, pada 1897, ia menerbitkan “Bunuh Diri”, sebuah studi kasus yang memberikan contoh tentang bagaimana sebuah monograf sosiologi. Pada 1902 Durkheim akhirnya meencapai tujuannya unyuk memperoleh kedudukan terhormat di Paris ketika ia menjadi professor di Sorbonne. Untuk mendapatkan pengangkatan politik, Durkheim memperkuat kekuasaan kelembagaannya pada 1912 ketika ia secara permanen diberi kursi danmengubah namanya menjadi kursi pendidikan dan sosiologi. Pada tahun itu pula ia menerbitkan karya besarnya yang terakhir “Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Keagamaan”.
Teori  dan gagasan
Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya dimasa modern, ketika hal-hal latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak adalagi. Untuk. Mempelajari kehidupan social di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena social. Bersama Herbert Spencer Drkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengaju pada fungsa yang meraka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat, suatu posisi yang telah dikenal sebagai fungsionalisme.
Dalam bukunya “Pembagian Kerja dalam Masyarakat” (1893), Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan  masyarakt modern. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisionl bersifat ‘mekanis’ dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional. Kata Durkheim, kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kasadaran  individual, norma-norma  social kuat dan perilaku social diatur dengan rapi.
Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas ‘organik’. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan social menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri.
Durkheim belakangan mengembangkan konsep tentang anomie dalam “Bunuh Diri”, yang diterbitkannya pada 1897. Dalam bukunya ini, ia meneliti berbagai tingkat bunuh diri diantara orang-orang Protestan dan Katolik, dan menjelaskan bahwa control social yang lebih tinggi di antara orang katolik menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah. Menurut Durkheim, orang mempunyai keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka, yang disebutnya integrasi social. Tingkat integrasi social yang secara abnormal tinggi atau rendah dapat menghasilkan bertambahnya tingkat bunuh diri. Menurut Durkheim masyarakat katolik mempunyai tingkat integrasi yang normal, sementara masyarakat protestan mempunhyai tingkat yang rendah. Karya ini telah mempengaruhi para pengajur teori control, dan seringkali disebut sebagai studi sosiologis yang klasik.

pemikiran modern dalam islam

"Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupunperempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akanKami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnyaakan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebihbaik dari apa yang telah mereka kerjakan."
(Al-Qur’an)[1]
A. Pendahuluan
Pada abad ke XVIII dunia islam jatuh kejurang keruntuhan, baik itu dari segi kenegaraan maupun dari segi moral ummat islam pada waktu itu. Apalagi agama islam. Perkembangan ilmu agama pun mengalami kebekuan. Ketauhidan yang dibawa oleh Muhammad saw. Telah diselubung kurafat-khurafat dan faham kesufian. Mereka kebanyakan telah meninggalkan mesjid-mesjid dan lebih memilih beribadah di kuburan-kuburan keramat dan mereka senang memakai azzimat guna memelindungi diri.
Mereka memuja para wali sebagai manusia suci dan sebagai perantara kepada Allah karena mereka sendiri menganggap Allah begitu jauh dari manusia yang awam.[2] Selain itu juga pada umumnya akhlak yang diajarkan Al-Qur’an tidak lagi di terapkan dalam kehidupan sehari-hari, kegiatan minum arak dan berjudi telah menjadi tradisi mereka, pelacuran merebak, akhlak merosot dan semua dilakukan dengan tanpa rasa takut atau rasa malu.
Peristiwa jatuhnya Andalusia ke tangan missionaris Kristen pada tahun 1492 keadaan Ummat Islam berambah merosot, baik dalam bidang teologi maupun dibidang kenegaraan. Terlebih lagi pada permulaan abad ke empat hijiriah ini, fuqaha Sunni menetapkan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Dengan adanya fatwa ditutupnya pintu ijtihad ini, maka berkembanglah bid’ah dan khurafat.[3]

1
 
Pemikiran yang dicetuskan Muhammad bin Abdul Wahab didasari hasrat untuk memperbaiki ummat Islam timbul, bukan karena reaksi dari suasana politik yang tengah terjadi tetapi sebagai reaksi terhadap faham tauhid yang terdapat dikalangan ummat islam yang telah rusak oleh ajaran-ajaran tarekat yang semenjak abad ketiga belas memang tersebar luas didunia islam.[4]  Sementara itu islam yang benar menurutnya adalah seperti yang dijalankan oleh generasi pertama, para pendahulu yang shaleh (al-salaf al-shalih), yang pada masa ini telah tercampur oleh kurafat-kurafat dan bid’ah. Dengan mengatas namakan mereka (salafus shalih), beliau menentang pembaharuan sesudah zaman mereka (salafus shalih), yang pada kenyataannya membawa tuhan-tuhan lain kedalam islam, menentang pemikiran mistik, organisasi tarekat sufi, dan ritual diluar Al-Qur’an.[5]
Adapun disetiap tempat yang ia kunjungi Abdul Wahhab melihat banyaknya kuburan-kuburan syeh tarekat ditiap kota bahkan ditiap kampung sekalipun. Dalam pada itu beliau melihat kenyataan yang sungguh ironi sekali. Betapa tidak, orang-orang islam berbondong-bondong pergi ke kuburan keramat itu dan mereka meminta pertolongan kepada yang ada di dalam kuburan itu untuk menyelesaikan problema kehidupan yang mereka alami seperti meminta jodoh, ingin punya keturunan, ingin sembuh dari penyakit dan ada juga yang ingin menjadi kaya.
            Apa yang menimpa oleh ummat islam membuat rasa prihatin yang mendalam bagi Muhammad bin Abdul Wahhab. Dari kenyataan yang ada, Muhammad bin Abdul Wahhab berasumsi hal ini terjadi karena pengaruh tarekat yang ada ditengah masyarakat. Karena pengaruh tarekat ini, permohonan dan doa tidak lagi langsung dipanjatkan keapada Allah akan tetapi melalui syafa’at para wali atau syekh tarikat, karena masyarakat berasumsi bahwa Allah tidak bisa didekati tanpa perantara. Menurut Abdul Wahhab hal ini jelas telah menyimpang dari ajaran Islam yang seharusnya. Oleh karenanya beliau bertekad membentuk sebuah gerakan pemurnian agama Islam supaya kembali kepada jalan yang semestinya. Gerakan ini tepatnya terbentuk pada tahun 1740 M.[6]
B. Riwayat Hidup Muhammad bin Abdul wahab
            Muhammad bin Abdul wahab lahir di Nejed arab Saudi tahun 1703 M[7] dan wafat pada tahun 1787 di Uyanah, daerah Nejd Saudi Arabia.[8] Beliau bernama lengkap Muhammad bin Abdul Wahab ibn Sulaiman ibn Ali bin Muhammad bin Rasyid ibn Rasyid ibn Bari ibn Musyarif ibn Umar ibn Muanad Rais ibn Zhahir ibn Ali Ulwi ibn Wahab.[9]
            Semenjak kecil Muhammad bin Abdul wahab sangat tertarik pada agama. Pada masa usianya baru mencapai 10 tahun, ia telah mampu menghafal Al-Qur’an dibawah asuhan ayahnya yang pada waktu itu adalah seorang Qadi di Uyanah, sebuah daerah di Nejd. Pada waktu itu dimasa pemeririntahan Muhammad bin Muammar dan ayahnya juga mengajar fiqih dan hadis dimasjid kota tersebut.[10] Adapun mazhab yang dianut oleh beliau adalah mazhab Imam Hambali Rahimahullah, tidak seperti yang dituduhkan kepada beliau oleh orang-orang yang memusuhi beliau, yang nengatakan bahwasannya ibn Abdul wahab membuat mazhab tersendiri dalam arti kata mazhab kelima[11] . Setelah merasa cukup menimba Ilmu kepada ayahnya, Setelah mencapai usia dewasa, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab diajak oleh ayahnya untuk bersama-sama pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima - mengerjakan haji ke Baitullah. Ketika telah selesai menunaikan ibadah haji, ayahnya kembali ke Uyainah sementara Muhammad bin Abdul Wahhab tetap tinggal di Mekah, kemudian Muhammad bin Abdul wahab mengebara ke Madinah guna menambah khazanah keilmuannya.
 Di Madinah,[12] Muhammad bin Abdul wahab berguru kepada Sulaiman Al-Kurdi dan Muhammad Hayat Al-Sind[13], setelah itu terus ke Basrah. Di Basrah ia mulai menjalankan fahamnya yang keras dan menantang segala pendapat dan segala amal yang dianggap bertentangan dengan ajaran salaf setelah ia menjumpai penyimpangan-penyimpangan yang dianggapnya bertentangan dengan faham salaf yang diilhami dari buku-buku Ibnu Tamiyah. Muhammad bin Abdul Wahab sangat menghargai Syaikul Islam Ibnu Taimiyah sehingga ia hanya memakai karya-karya Ibnu taimiyah saja dan melecehkan karya-karya ulama terdahulu yang lain. Hal ini senada dengan apa yang dinyatakan oleh Sulayman, kakak kandungnya sendiri dalam risalahnya ia mengatakan bahwa ‘Abd al-Wahhab tidak mengarahkan dirinya untuk membaca  atau memahamikarya-karya para pendahulu dibidang yurisprudensi. Namun meski ‘Abd al-Wahab melecehkan banyak ahli hukum, ia memperlakukan ujaran sejumlah ulama, seperti ahli hukum bermazhab Hambali – Ibnu Taimyah, seolah-olah ujaran itu terwahyukan dari tuhan tidak boleh dipertanyakan atau didebat.[14]
 Hal ini sesuai pernyataan yang diterangkan oleh De Lacy O’leray sebagai berikut:
“Muhammad ibn Ab-dul-Wahab (died 1787) was a reformer inspired by the books of Ibnu Taymiyah and, like his master, attaced the popular worship of saints and exhorted his followers to destroy the shrines which provoked honours which were inconsistent with the honour due to god alone”.[15]
  Setelah dari Basrah ia melanjutkan pengembaraannya ke Ahissa’ dikawasan teluk Arab, dan Baghdad dilembah Mesopotamia (Irak), Damaskus di Syiria serta Isfahan dan Qum di Iran.[16]  Pada literatur lain disebutkan bahwa pada waktu dikota Baghdad, beliau memperoleh seorang isteri yang kaya raya. Ketika isterinya meninggal ia mendapatkan warisan sebanyak 2000 dinar.[17]
Selama dalam pengembaraannya Muhammad bin Abdul Wahab menjumpai pencemaran terhadap agama yang dilakukan oleh ummat muslim. Pencemaran-pencemaran terhadap ajaran islam murni bermula dimasa pemerintahan Islam Abbasiah di Baghdad. Kemajuan ilmu pengetahuan dizaman ini telah menyeret kaum muslimin untuk ikut pula memasyarakatkan ajaran filsafat Yunani dan Romawi. Selain itu pengaruh mistik dan dari budaya rusia ikut berpengaruh negative pada kebudayaan islam. Puncaknya adalah berbagai macam kebathilan dan takhayul yang dipraktikkan orang hindu mulai diikuti oleh ummat islam.
Aktivitas-aktivitas seperti mengunjungi para wali, mempersembahkan hadiah dan meyakini bahwa mereka mampu mendatangkan keuntungan atau kesusahan, mengunjungi kuburan mereka, dan mengusap-usap kuburan teresebut dan memohon keberkahan kepada kuburan tersebut.[18]
Seperti yang telah kita bahas diatas bahwasannya dari yang telah disaksikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab selama perjalannanya dalam pengembaraan maka pada waktu beliau berada di Basrah, beliau berniat membentuk sebuah gerakan pemurnian Islam. Dari sinilah beliau memulai gerakannya yang disebut dengan gerakan  wahabi.[19]
Dalam menjalankan gerakannya, kaum wahabi dinilai sangat keras dan tanpa ampun. Gerakan ini dalam ajarannya terus menerus menekan bahwa tidak ada jalan tengah dalam menjadi seorang muslim. Hanya ada dua pilihan: menjadi muslim atau tidak. Selain itu jika seorang muslim secara eksplisit dan atau implisit melakukan suatu perbuatan ketidak murnian kiemannanya kepada tuhan menurut standar yang dimiliki oleh Muhammad bin Abdul Wahhab maka, kaum wahabi tidak segan segan menuding orang muslim tersebut telah kafir dan dengan tanpa rasa cemas sedikitpun kaum Wahabi akan membunuh orang muslim itu.[20]
Hal ini menyebabkan Muhammad bin Abdul Wahab dan pengikutnya mendapatkan tuduhan dari golongan musuhnya bahwa kaum Wahabi dinila sangat mudah mengkafirkan orang muslim yang tidak sepaham dengan mereka. Selain itu mereka dinilai kejam karena tidak segan-segan membunuh orang muslim yang tidak sepaham dengan mereka.
Menanggapi hal ini  Muhammad bin abdul Wahab memberikan sanggahan terhadap para musuh-musuhnya dengan menggunakan dalil Al-Qur’an dan dalil dari hadis Nabi yang ia yakini, guna membenarkan apa yang ia lakuakan. Sehubungan dengan ini,  Syaikh Abdurrahman bin Hammad Al-Umr memaparkan:
Orang-orang yang antipasti terhadap syaikh  Muhammad bin Abdul Wahhab menuduh bahwa ia suka menganggap kafir kaum muslimin. Menanggapi tuduhan tersebut, Syaikh mengatakan bahwa sebenarnya dia tidak pernah menggap kafir seorang muslim. Namun ia menganggap kafir orang yang ingkar kepada Allah Ta’ala. Dan ia memiliki dalil Al-Qur’an dan Hadis atas anggapannya tersebut berdasarkan kesepakatan para ulama dari seluruh mazhab Ahlissunah wal jama’ah. Sebagai mana yang banyak dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh yang layak diperhitungkan. Dia menganggap orang murtad secara terang-terangan menentang islam atau orang melakukan salah satu perkara yang dapat membatalkan keislaman yang telah disepakati bersama. Namun ia tidak menganggap kafir orang yang melakukan hal itu karena memang tidak tahu atau karena lupa hingga diajak untuk bertaubat dan diberikan penjelasan serta hujjah. Jika setelah itu ia tetap tidak mau bertaubat, maka ia dikafirkan. Dia memberikan fatwa had “eksekusi” atas orang yang murtad, dan memeranginya jika pelakunya merupakan kelompok yang membangkang, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Sallallahu alaihi wa sallam dan para Khulafa’urrasyidin terhadap orang-orang murtad.[21]
Namun, walaupun dari pihak Muhammad bin Abdul Wahab telah memberikan alasan dalam setiap perbuatannya, masih saja kebencian dari pihak yang antipasti terhadap kaum Wahabi tidak menghilang. Malahan apa yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab ini menuai kritik pedas dari kakaknya yaitu Sulayman dan kabarnya  juga dari ayah Abdul Wahab.[22]
Ajarannya yang dinilai keras dan kejam itu, maka dalam menjalankan niatnya ia dimusuhi, terus ditindas. Ketika dia merasa mendapat perlawanan yang semakin menguat  dan kentara, maka diapun  meninggalkan desanya – ‘Ainiyah – pergi ketempat kediaman Amir Saudi,di sebelah utara Riadh di desa ad-dariyah.[23]
Sesampainya ia didesa Ad-dariyah, Muhammad bin Abdul Wahab berhasil menanamkan faham yang dimilikinya kepada Amir Saudi yang mana ia merupakan kepala suku Saud yang sangat berpengaruh diwilayah Nejd.[24]
Disini ia mengikat janji setia dengan keluarga as- Saudi, bahwa dia akan tetap berada ditengah-tengah keluarga as- Saudi kemanapun mereka pergi. Sedang pihak Saudi berjanji akan membantunya dalam penyampaian da’wah dengan kekuasaan dan kekuatan.[25] Peristiwa sumpah setia ini bertepatan dengan tahun 1729[26]
Adanya ikatan antara penguasa Saudi dengan Muhammad bin Abdul Wahab dengan membawa ajaran-ajaranya tersebut menyebabkan adanya aspek politik dalam sejarah gerakan keagamaan.[27] Berkat ikatan ini pulalah membuat kekuasaan ibn Su’ud meluas dengan cepat menyebar keseluruh Jazirah Arab.[28] Gerakan ini merupakan hampir satu-satunya gerakan pembaharuan keagamaan yang paling sukses secara politik, yaitu setelah bergabung dengan kekuatan dinasti Saud, pembaharuan diJazirah ini juga sangat menarik karena ia dilancarkan tanpa sedikitpun ada persinggungan dengan kemodernan dari barat.[29]
Keadaan ini berlangsung dengan baik sampai Syekh Muhammad bin Abdul Wahab meninggal dunia pada tahun 1792.[30] Dan setelah meninggalnya Muhammad bin Abdul Wahhab, perjuangannya masih diteruskan oleh muridnya Mawlawi dan putranya.[31]
Sementara itu, gerakan ini juga telah sampai ke Indonesia, tepatnya di pulau sumatera[32] dibawa oleh orang Indonesia yang pada waktu itu pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah. Tak hanya di Indonesia gerakan ini juga sampai di Libya dan Algeria yang dipelopori oleh Imam Sanusi dan gerakannya diberi nama Sanusiyah, walaupun gerakan ini tidak murni dari aliran Wahhabi tetapi lahirnya gerakan ini terinspirasi dari gerakan yang dilakukan oleh orang-orang Wahhabi.
Sesudah meninggalnya Syeih Muhammad bin Abdul Wahhab pada 29 syawal 1206 = 1792 M (dalam usia 95 Th) juga, gerakan Wahhabi semakin berkembang ditangan penguasa Saudi, Muhammad bin Saud. Setelah Muhammad bin Saud meninggal, perjuangannya dilanjutkan oleh putranya yaitu Abdul Aziz.
Ditahun 1802, mereka menyerang padang karbala. Karena kota ini terdapat kuburan Al-Husainyang merupakan kiblat bagi golongan syi’ah. Beberapa tahun kemudian mereka juga menyerang Madinah. Kubah yang ada diatas kuburan –kuburan mereka hancurkan. Hiasan-hiasan yang ada dikuburan Nabi pun mereka rusak. Dari Madinah meneruskan penyerangan ke Mekah, mereka merusak kiswah penutup ka’bah karena menurut mereka itu adalah bid’ah.[33] .
C. Gerakan Pemurnian: Pemurnian Tauhid
Pemikiran pemurnian Muhammad bin Abdul Wahhab dituangkan dalam sebuah kitab karangan beliau sendiri yaitu daiantaranya Kitab Tauhid dan Kitab Kasyfus Sybhat.
Menurut Muhammad bin Abdul Wahhab, tauhid adalah sesuatu yang sangat mendasar bagi ummat islam dan oleh karena penegakan tauhid itulah para rasul diutus. Hal ini telah diungkapkan oleh beliau sendiri sebagai berikut:
Ketahuilah wahai saudaraku seiman, -semoga Allah senantiasa memberi rahmat kepada anda-, bahwa sesungguhnya “TAUHID”  adalah meng esakan Allah dalam beribadah. Dan tauhid ini adalah agama para rasul, yang Allah utus untuk mereka untuk membawa agama itu kepada hamba-hambanya. [34]
yang dimaksud dengan tauhid adalah al-ibadah[35] atau pengabdian kepada Allah. Hal ini didasarkan kepada pendapat beliau bahwa setiap rasul yang diutus tidak lain hanya lah untuk menyeru agar ummat manusia menyembah kepada Allah dan bukan kepada selain_Nya. Beliau mendasari pendapatnya dengan firman Allah :
Dan sungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut[37] itu", Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang Telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).[38]
Ayat ini menurut Muhammad bin abdul Wahhab, bahwa Allah menciptakan makhluk_Nya karena mengandung hikmah yang besar yaitu agar makhluk teresebut melaksanakan segala yang diwajibkan Allah kepadanya dan meninggalkan ibadah kepada selainnya. Dari hal ini – katanya- kita bisa membentuk dan mendidik pribadi muslim atas dasar ibadah yang benar dan atas dasar akidah/ pedoman kepercayaan yang sehat dan selamat.[39]  
Adapun keistimewaan orang yang merealisir tauhid adalah masuk kedalam surga tanpa dihisab. Hal ini didasarkan pada hadis nabi saw. Dari Said bin Jubair yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Yang  artinya:
Segolongan ummat Muhammad saw. yang mrealisir tauhid dengan benar, mereka ada 70000 semuanya masuk surga tanpa hisab dan tanpa siksa. Rasulullah ditanya tentang mereka itu maka beliau bersabda: mereka yang tidak minta dijampi dan tidak minta di “cos”(ditempel dengan besi yang dipanaskan) dan yang tidak menentukan nasib dengan burung dan mereka hanya bertawakal kepasda Allah[40]
Mereka orang-orang yang yang melakukan penentuan nasib lewat burung terbang, adalah merupakan bentuk ktidak percayaan kepada takdir yang telah ditentukan bagi mereka.
D.    Gerakan Pemurnian: kasus Wasilah
Abdul Wahhab berpendapat orang yang meminta pertolongan kepada Allah memakai perantara dalam berdo’a meminta syafaat serta bernazar kepada selain Allah dan tidak percaya kepada qada dan qadar adalah termasuk syirik. Berkenaan dengan hal ini beliau mengutip firman Allah swt:

  Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, Maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. dia memberikan. kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[41]
Ayat ini mejelaskan bahwa kebaikan atau pun keburukan semua itu berasal dari Allah swt. Siapapun tidak mendapat peran dalam menentukan baik danburuknya seseorang walaupun ia seorang wali sekalipun. Jadi beliau dengan gigih menumpas segala praktek wasilah karena pada hakikatnya segala sesuatu itu datangnya dari Allah swt.

 Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).[42]
Kata-kata doa  yang terdapat dalam ayat tersebut diartikan oleh beliau adalah doa yang semata-mata diarahkan kepada Allah, memurnikan ibadah kepadanya dan bukan meminta kepada selain_Nya.[43] baik kepada pohon, patung, gunung  dan sebagainya. Selain itu dalam berdoa harus disertai tawakkal dalam arti kata bahwa berserah diri kepada Allah setelah kita melakukan usaha secara maksimal.
E.     Gerakan Pemurnian: kasus Syafaat
 Syafa'at telah dijadikan dalil oleh kaum musyrikin dalam memohon kepada malaikat, nabi dan wali. Kata mereka,Kami tidak memohon kepada mereka kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memberikan syafa'at kepada kami di sisiNya.Maka diuraikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa syafa'at yang mereka harapkan itu adalah percuma,bahkan syirik; dan syafa'at hanyalah hak Allah semata, tiada yang dapat memberi syafa'at kecuali dengan seidzinNya bagi siapa yang mendapat ridhaNya.[44]
Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada hari kiamat), sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafa'atpun selain daripada Allah, agar mereka bertakwa.[45]

Katakanlah: "Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada- Nyalah kamu dikembalikan"[46]
Abul 'Abbas mengatakan,
Allah telah menyangkal segala hal yang menjadi tumpuan kaum musyrikin, selainDiri-Nya sendiri, dengan menyatakan bahwa tak seorang pun selain Allah mempunyai kekuasaan, atau sebagainya,atau pembantu Allah.[47]
Adapun tentang syafa'at, maka telah ditegaskan Allah bahwa syafa'at ini tidak berguna kecuali bagiorang yang telah diizinkan Allah untuk memperolehnya, sebagaima firmanNya,

 Allah mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat[48] melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati Karena takut kepada-Nya.
Syafa'at yang ditetapkan ini adalah syafa'at untuk Ahlul Ikhlas wat-Tauhid dengan seizin Allah bukan untuk mereka yang berbuat syirik kepadaNya. Dan pada hakekatnya, bahwa Allah-lah yang melimpahkan karuniaNya kepada Ahlul Ikhlashwat-Tauhid dengan memberikan maghfirah kepada mereka melalui doa orang yang diizinkan Allah untuk memperoleh syafa'at, untuk memuliakan orangitu dan menerimakan kepadanya Al-Maqam Al-Mahmud (kedudukan terpuji). Jadi syafa'at yang dinyatakan tidak ada oleh Al-Qur'an, adalah apabila adasesuatu syirik di dalamnya. Untuk itu Al-Qur'an telah menetapkan dalambeberapa ayat bahwa syafa'at adalah dengan izin dari Allah; dan Nabi sudah menjelaskan bahwa syafa'at hanyalah untuk Ahlut-Tauhid wal-Ikhlash.[49]
Beliau juga mengatakan bahwa Nabi tidak berhak memberi Syafaat kecuali dengan kehendak Allah. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt:

Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.[50]
Berkenaan dengan hal ini tatkala Abu Thalib akan meninggal, Rasulullah mengajak Abu Thalib untuk memeluk islam, tetapi Abu Talib tetap bersikeras terhadap agama nenek moyang nya, sehingga Abu Talib tetap dalam keadaan kafir. Kemudian rasulullah saw. Memintakan ampun untuknya, tetapi Allah melarangnya.[51]
Ayat-Ayat diatas menunjukkan bahwa syafa'at seluruhnya adalah hak khusus bagi Allah, menunjukkan bahwa syafa'at tidak diberikan kepada seseorang tanpa izin dari Allah.selain itu juga menerangkan bahwa syafa'at diberikan oleh orang yang diridhai Allah dengan izin dariNya. Dengan demikian syafa'at adalah hak mutlak Allah, tidak dapat diminta kecuali dariNya; dan menunjukkan pula kebatilan syirik yang dilakukan oleh kaum musyrikin dengan mendekatkan diri kepada malaikat, atau nabi dan orang-orang yang shalih, untuk meminta syafa'at mereka. Bersamaan dengan itu juga bahwasannya keterangan Al-Qur’an mengandung bantahan terhadap kaum musyrikin yang mereka itu menyeru selain Allah, seperti malaikat dan makhluk-makhluk lainnya, karena menganggap bahwa makhluk-makhluk itu mendatangkan manfaat atau menolak mudharat;[52] dan menunjukkanbahwa syafa'at tidak berguna bagi mereka, karena syirik yang mereka lakukan, tetapi hanyaberguna bagi orang yang mengamalkan tauhid dan itu pun dengan seizin Allah.
F.     Kesimpulan
Gerakan Wahabiyah yang dibangun oleh Muhammad bin Abdul Wahhab timbul karena didorong oleh hasrat untuk memperbaiki keadaan ummat islam melalui upaya memperbaiki ajaran islam yang dianut oleh masyarakat islam, khususnya melalui pemurnian tauhid dari unsur bid’ah, khurafat, dan takhayul. Hasrat dan cita-cita teresbut semuanya tercermin dalam ajaran-ajaran yang dianutnya secara keseluruhan bertemakan tauhid.
Namun demikian ajaran atau pemikiran yang dibawa oleh gerakan tersebut mempunyai pengaruhterhadap pembaharuan pemikiran islam diabad kesembilan belas yaitu pemikiran yang menyatakan hanya Al-Qur’an dan hadislah yang merupakan sumber asli dari ajaran islam tidak membenarkan sikap taklid dan sealain itu pintu ijtihad masih senantiasa terbuka.
Gerakan Muhammad bin Abdul Wahhab lebih kepada pemurnian ajaran islam namun berpengaruh terhadap timbulnya pembaharuan pemikiran islam abad selanjutnnya. Geraka tersebut karena menempuh cara-cara yang kaku, keras dan tak kenal kompromi dalam memasyarakatkannya, maka sering diwarnai oleh suasana konflik dan pertikaian dengan golongan lain yang tak sepaham.[53] Selain itu juga sering dimanfaatkan oleh kekuatan luar tujuan-tujuan yang bersifat politis. Oleh karenanya gerakan wahabiyah sering dituduh sebagai kelompok pembangakang oleh golongan lain.
Namun tidaklah demikian, karena gerakan ini menimbulkan keberanian moral dikalangan ummat islam untuk mengatasi keterbelakangannya melalui pembaharuan pemikiran dalam islam.
DAFTAR PUSTAKA
1.      Abdul Wahhab Muhammad bin Kitab Tauhid (terj), (Surabaya: Bina Ilmu, 1982)
  1. Abdul Wahhab Muhammad bin, Kasyfusy Syubhat (ter), (Islamic Propagation in Rabwah, tt)
  2. Ahmad, Zainal,Abidin, Ilmu politik V Sejarah Islam dan UmmatnyaSampai sekarang,()
  3. Al-Bahy, Muhammad, Alam Perkembangan Islam dan Perkembangannya(Jakarta: Bulan Bintang, 1987)
  4. Horani, Albert, Pemikiran Liberal Dunia Arab, (Bandung: Mizan, 2004)
  5. Amin, Husyain Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam.(Bandung: Rosda Karya,2000)
  6. Anshari Syaifuddin, Endang, Wawasan Islam, (Jakarta: Rajawali Perss, 1986)
  7. Asmuni Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998)
  8. bin Hammad Al-Umr Syaikh Abdurrahman, Hakikat Dakwah  Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab,(Jakarta: PT. Darul Falah, 2006)
  9. El Fadl Abou Khaled, Selamatkan Islam dari muslim Puritan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006
  10. Fakri, Majid, Sejarah Filsafat Islam,(Jakarta: Pustaka Jaya)
  11. Gazalba, Sidi, Asas Kebudayaan Islam, (Jakarta, Bulan Bintang)
  12. Hitti, Philip, History Of The Arabs, (Bandung: Serambi, 2002)
  13. Madjid Nurkholis, Khazanah Intelktual Islam(Jakarta: Bulan Bintang, 1984)
  14. Mohammad, Hery dkk., Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani, 2006)
  15. Mufrodi Ali, Islam dikawasan Kebudayaan Arab, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997)
  16. Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975)
  17. Rahiem Husni, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1986)
  18. Stoddard Lothrop, Dunia Baru Islam, Jakarta, 1966

[1] Lihat Q.S An-Nahl: 97
[2] Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, (Jakarta, 1966), hal. 29
[3] Drs. Husni Rahiem, Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1986), hal. 15
[4]Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 23
[5] Albert Horani, Pemikiran Liberal Didunia Islam, (Bandung: Mizan, 2004), hal. 63
[6] M Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Husada, 1995), hal. 62
[7] Pada tahun ini lahir dua pembaharu besar yaitu Muhammad bin Abdul Wahab di Uyainah (Arabia) dan Syah Waliyullah di Delhi (India). Endang Syaifuddin Anshari, Wawasan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1986), hal. 395
[8] M Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam(Jakarta: Raja Grafindo Persada),hal. 58
[9] H.M Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, hal. 58
[10] Ali Mufrodi, Islam dikawasan Kebudayaan Arab, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 152
[11] Syaikh Abdurrahman bin Hammad Al-Umr, Hakikat Dakwah  Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, (Jakarta: PT. Darul Falah, 2006), hal. 31 
[12] Dimadinah beliau  memiliki teman yang sama-sama belajar dengannya yaitu: Ali Afandi bin Shadiq bin Ibrahim Al –Daghistany. Lihat  Azumardy Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 135
[13] H.M Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, hal. 59
[14] Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari muslim Puritan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006)hal. 73
[15] Artinya:
“Muhammad bin Abdul Wahab yang meninggal pada 1787adalah seorang pembaharu yang diilhami oleh buku-buku karangan Ibnu Taimiyah . sebagai hal gurunya itu, dia menghantam segala ibadat yang diajarkan oleh ulama-ulama, dan mengerahkan segala pengikutnya untuk melawan segala tempat keramat yang dipuja-puja dan dihormati yang bertentangan dengan penyembahan yang harus dilakukan hanya kepada tuhan saja”. Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik V sejarah   islam dan Ummatnya Sampai Sekarang, (), hal. 269-270
[16] Muhammad Al-Bahiy, Alam Fikian Islam dan Perkembangannya, (Jakarta: Bulan Bintang, tt.), hal. 72
[17] H.M Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, hal. 59
[18] Hery Mohammad dkk., Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hal. 244
[19] Sebutan Wahabi adalah nama yang berikian oleh lawan lawan kaum wahabi kepada kaum yang mengikuti Muhammad bin Abdul Wahab. Lihat, Ali Mufrodi, Islam dikawasan Kebudayaan Arab, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 151
[20] Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari muslim Puritan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,  2006), hal. 65
[21] Syaikh Abdurrahman bin Hammad Al-Umr, Hakikat Dakwah  Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, hal. 86-87
[22] Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari muslim Puritan, hal. 73
[23] Muhammad Al-Bahiy, Alam Fikian Islam dan Perkembangannya, hal. 73
[24] Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam, hal. 31
[25] Al-Bahy, Alam Fikian Islam dan Perkembangannya, hal. 73
[26] Endang Syaifuddin Anshari, Wawasan Islam, (Jakarta: Rajawali Perss, 1986)hal. 395
[27] Muhammad Al-Bahiy, Alam Fikian Islam dan Perkembangannya, hal. 73
[28] Phillip K. Hitti, History Of The Arab’s, (Bandung: Serambi, 2002), hal.948
[29] Nurkholis Madjid, Khazanah Intelktual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 61
[30] Muhammad Al-Bahiy, Alam Fikian Islam dan Perkembangannya, hal. 73
[31] Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik V sejarah   islam dan Ummatnya Sampai Sekarang,hal.272
[32] Gerakan Wahhabi di pulau Sumatera tepatnya didaerah Sumatera Barat dengan nama kaum paderi atau juga disebut dengan kaum muda. Seperti di dunia  Arab, di Indonesia gerakan ini juga mengalami konflik dengan penduduk islam setempat yang berbeda faham dan konflik yang terjadi ini lebih dikenal dengan perang paderi. Faham ini dibawa oleh: H.Miskin, H. Piabang, dan Haji Sumanik.
[33] Harun Nasution,  Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, hal. 26
[34] Muhammad bin Abdul Wahhab, Kasyfusy Syubhat (ter), (Islamic Propagation in Rabwah, tt), hal.3
[35] ialah penghambaan diri kepada Allah dengan mentaati segala perintah-Nya danmenjauhi segalalarangan-Nya, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah.Dan inilah hakikat agama Islam, karena Islam maknanya ialah menyerahkan diri kepadaAllah semata-mata yang disertai dengan kepatuhan mutlak kepada-Nya dengan penuh rasarendah diri dan cinta.Ibadah berarti juga segalaperkataan dan perbuatan, baik lahir maupun batin, yangdicintai dan diridhai Allah. Dan suatu amal diterima oleh Allah sebagai suatu ibadahapabila diniati ikhlash, semata-mata karena Allah; dan mengikuti tuntunan Rasulullah.
[36] Lihat Q.S Adz-Dzari’at : 56
[37] Thaghut ialah setiap yang digunakan -selain Allah- dengan disembah, ditaati, atau dipatuhi;baik yang digunakan itu berupa batu, manusia, ataupun setan.Menjauhi thaghut: mengingkarinya;membencinya; tidak mau menyembah dan memujanyabaik dalam bentuk dan dengan cara apapun.
[38] Lihat Q.S An-Nahl: 36
[39] Muhammad bin Abdul Wahhab Kitab Tauhid (terj), (Surabaya: Bina Ilmu, 1982), hal. 18
[40] Muhammad bin Abdul Wahhab Kitab Tauhid (terj), hal. 29
[41] Lihat Q.S. Yunus : 107
[42] Lihat Q.S. An-Naml:62
[43] Jurnal Usuluddin, (Pekanbaru, Suska press, 2002), hal.75
[44] Sedikitnya ada dua syarat yang harus ada pada syafa’at: a). keridlaan Allah terhadap orang yang akan menerima syafa’at; b). idzin Allah terhadap orang yang diberi wewenang untuk memberikan syafa’at itu. Lihat Kitabut Tauhid (terj) Karangan Muhammad bin Abdul Wahhab , (Surabaya: Bina Ilmu, 1982), hal. 63
[45] Lihat Q.S. Al-An’am: 51
[46] Lihat Q.S. Az-Zumar:44
[47] Lihat kitab Tauhid oleh Syaikh Muhammad At-Tamimi http://forsitek.brawijaya.ac.id/ Syaikh Muhammad At-Tamimi
[48] Syafa'at: usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. syafa'at yang tidak diterima di sisi Allah adalah syafa'at bagi orang-orang kafir., syafa'at yang baik ialah: setiap sya'faat yang ditujukan untuk melindungi hak seorang muslim atau menghindarkannya dari sesuatu kemudharatan. syafa'at yang buruk ialah kebalikan syafa'at yang baik.
[49] Abu Hurairah telah bertanya kepada beliau, "Siapakah oreng paling beruntung
dengan syafa'at engkau?" beliau menjawab, "Ialah orang yang mengucapkan 'La
Ilaha Illallah' dengan ikhlas dari dalam hatinya." (Hadits riwayat Imam Ahmad dan Al-Bukhari)
[50] Lihat Q.S Al-Qashshash: 56
[51] Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari, dari Ibn Al-Musayyab, bahwa
bapaknya berkata,
Tatkala Abu Thalib akan meninggal, datanglah Rasulullah kepadanyadan saat itu 'Abdullah bin AbuUmayyah serta Abu Jahl berada disisinya, maka beliau bersabda kepadanya,Wahai pamanku! Ucapkanlah "La Ilaha Illallah" suatu kalimat yang dapat aku jadikan bukti untukmu di hadapan Allah.Tetapi disambut oleh 'Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahl,"Apakah kamu membenci agama Abdul Muththalib?" Lalu Nabimengulangi sabdanya lagi, akan tetapi mereka pun mengulang-ulangi kata-katanya itu pula. Maka akhir kata yang diucapkannya, bahwa dia masih tetappada agama Abdul Muththalib dan enggan mengucapkan "LaIlaha Illallah". Kemudian Nabi bersabda, "Sungguh, akan akumintakan ampunan untukmu, selama aku tidak dilarang." Lalu Allah Menurunkan firmanNya,

Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orangmusyrik. (At-Taubah: 113). Dan mengenai Abu Thalib, Allah menurunkan firrman-Nya,Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjukkepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberipetunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.

26.  Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikitpun tidak berguna, kecuali sesudah Allah mengijinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya).
[53] Para pengikut Syekh Wahhab pernah mengancam akan menghancurkan segenap tempat suci dalam kota Madinah, karena mereka menganggap tempat itu dapat menyebabkan orang tidak lagi percaya akan ke-esaan tuhan (syirik). Mereka memberi perhatian khusus terhadap pengahncuran makam Rasulullah yang dianggap oleh peziarah picik sebagai makam yang memilki kualitas magis dan mitos.
Write here, about you and your blog.
 
Copyright 2009 PENA PELAJAR All rights reserved.
Free Blogger Templates by DeluxeTemplates.net
Wordpress Theme by EZwpthemes